Sunday, April 20, 2008

Cara Elegan Mencuci Dosa

Awicaks

Saya teringat sebuah pepatah dari seorang kawan yang telah mendahuli kita semua, "Cara terbaik menghindari musuh adalah dengan tinggal di sarang musuh." Pepatah itu lebih kurang bisa digunakan dalam konteks mencuci dosa. Sehingga, "Cara terbaik mencuci dosa kita adalah dengan cara mandi di kolam dosa." Dan ini sungguh tepat penerapannya ketika kita perbandingkan dengan cara terbaik menangani penyakit menular yang disebabkan virus adalah dengan menanamkan benih virus di tubuh kita sebelum terjangkit sehingga sistem kekebalan tubuh dapat memproduksi bahan penangkalnya.

Bolehjadi prinsip itu yang digunakan para ahli hubungan masyarakat, yang lebih populer dengan sebuatan PR, perusahaan-perusahaan besar yang mendukung GreenFest atau Festival Hijau di Senayan, Jakarta. Sehingga kita tak perlu terkejut melihat bagaimana sebuah perusahaan produsen kertas, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), yang jelas-jelas menghabisi hutan, bisa dengan gagah dan elegan menampilkan sosok yang peduli lingkungan. Bahkan berani mengajak warga untuk mengurangi ketergantungan kepada kertas dan beralih kepada serbet kain. Luar biasa.

Tentu sebagai awam saya bertanya, "Apa kalian tidak takut rugi karena menyarankan khalayak beralih dari produk utama perusahaan kalian?" Ternyata hingga di tingkat penjaga anjungan perusahaan besar itu sudah membekali dengan jawaban, "Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa kami bertanggungjawab kepada kelestarian hutan dan alam." Orang yang tak paham bagaimana perusahaan itu beroperasi di hutan tentu akan terkagum-kagum, dan mulai mengkhayalkan sebuah gambar bergerak tentang bagaimana pohon-pohon besar (yang butuh puluhan tahun untuk tumbuh) ditebang, lalu bekasnya ditanam kembali dengan benih baru, dan semuanya disajikan secara cantik, mengkilat dan wangi. Ciamik, kata orang Yogya.

Terbatasnya pengetahuan, yang lebih sering disebabkan kemalasan berpikir dan mencari tahu, membuat beberapa khalayak memisahkan khayalan indah, cantik, mengiklat dan wangi itu dengan kejadian-kejadian pilu di sekitar wilayah perusahaan itu beroperasi. Warga yang dimiskinkan karena harus melepas lahan tempat mereka hidup bergenerasi-generasi, dan dipaksa "naik kelas" menjadi buruh, serta kenaikan suhu permukaan tanah karena lahan-lahan yang dulu rimbun seketika terbuka terhadap sengatan sinar matahari lalu mendorong terganggunya keseimbangan alami yang menjadi gantungan beragam mahluk hidup di dalamnya, dan seterusnya. Tentu saja gambar-gambar bergerak yang lebih pilu itu tak akan disajikan di pameran megah di Senayan, meskipun perusahaan tersebut menggunakan siasat vaksinasi virus untuk PR mereka.

Begitu pun dengan perusahaan penambang minyak bumi dan gas alam, Pertamina, yang juga berdiri gagah dan bicara tentang gaya hidup hemat energi di ajang-ajang pameran, bukan cuma GreenFest 2008, mengajak khalayak luas melupakan borok-borok masa lalu ketika masih sebagai perusahaan Negara, baik itu soal korupsi, kecelakaan kerja, kemerosotan mutu lingkungan di sekitar sumur-sumur pemompa minyak mentah, serta rangkaian kecelakaan industri yang mulus disembunyikan di balik karpet. Tentu semua orang berhak untuk menjadi lebih baik. Yang jadi persoalan, apakah perlu gembar-gembor memamerkan ke khalayak luas bahwa kita sekarang teleh berubah dan lebih baik serta tidak lagi seburuk dan sejahat di masa lalu?

Tetapi apa mau dikata, bahkan para pemimpin negeri ini pun lebih peduli kepada polesan citra diri daripada hasil nyata kerja-kerja berkeringat. Bobroknya pengurusan pendidikan nasional secara terus-menerus dihajar dengan iklan-iklan cantik dan glossy berbentuk opini (advertorial) di media-media terkemuka, menampilkan seorang Bambang Sudibyo yang tampak berhasil mengurus pendidikan di Indonesia, seperti tak ada urusannya dengan runtuhnya atap sebuah sekolah dasar yang menimpa belasan murid yang tengah belajar. Atau sang presiden yang tampil dengan citra sebagai sosok yang begitu mudah tersentuh dan menyucurkan airmata ketika berkunjung ke tempat pengungsian warga yang tersingkir dari desa-desa mereka karena ruang hidup mereka telah berubah menjadi neraka berlumpur dengan gas beracun, polyaromatic hydrocarbon (PAH), akibat kecerobohan tak terampunkan di bekas ladang gas Sumber Panji I milik Lapindo Brantas, tetapi gagal memberi jalan keluar yang sungguh-sungguh telah memenangkan warga korban. Apa mau dikata....

Sesungguhnya saya sangsi, negeri amburadul yang kelewat luas ini bisa diurus dan dikelola hanya dengan mengandalkan siasat-siasat PR atau kehumasan, agar bisa lebih maju dan mampu mengangkat keluar warganya dari rangkaian tekanan hidup sehari-hari.

20 April 2008

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: