Sunday, May 18, 2008

Kejut, Kejutan, Terapi Kejut - Naomi Klein

Awicaks

Bagi seorang Naomi Klein penanganan bencana tidak bisa lagi dilihat sebagai seperangkat tindakan teknikal dengan balutan rasa kemanusiaan dan kepekaan sosial. Ia memandang secara kritis penanganan bencana di masa globalisasi dan pasar bebas yang bebas kendali sebagai laboratorium bagi eksperimen ekonomik dan ekonomi-politik, yang diperkenalkan dan persebarannya terus diperluas oleh para cantrik Milton Friedman. "Ajaran itu selalu butuh situasi trauma kolektif dengan luasan pengaruh dan dampak yang besar, sehingga hal-hal yang dulu dianggap tabu dan tidak mungkin menjadi suatu keharusan, atas nama keadaan darurat," tulis Naomi.

Tidak tanggung-tanggung, Naomi Klein pun menelusuri sejarah riset dan pengembangan instrumen penyiksa untuk kepentingan interogasi militer dan intelijen di Amerika Serikat, bahkan mundur hingga masa Perang Dunia ke-2, dengan thesis, ada kesamaan yang gamblang antara asumsi dasar teori dan ajaran Friedman dengan tujuan pencpitaan alat-alat siksa tersebut: Trauma, disorientasi dan sikap menyerah sebagai sebuah lembar kertas kosong yang siap diisi dengan tulisan atau gambar apa saja, sekendak kita. Saya pun teringat pengalaman diri ketika melakukan riset tentang resiko kebijakan dan tindakan rehabilitasi tsunami Aceh dan Nias awal tahun 2005 hingga pertengahan 2006.

Niat tulus manusia dari berbagai belahan bumi di awal pasca-kejadian mengharukan saya. Sesuatu yang tak-terbantahkan. Praduga negatif pun menjadi hal yang tak perlu ketika wilayah Aceh dan Nias masih berantakan, dengan suasana muram dan sedih serta bau anyir dan amis kematian. Orang-orang yang menonton tayangan di televisi tentang dahsyatnya tsunami yang menghantam wilayah Aceh, hasil rekaman warga korban, tergerak menyumbangkan apa saja yang mereka miliki. Uang, barang, (waktu, tenaga, keahlian) bahkan hingga doa yang tulus. Demikian halnya dengan orang-orang di Indonesia, yang bermimpi pun tidak untuk menjejakkan kakinya di bumi Serambi Mekah, karena di masa lalu wilayah ini senantiasa dicitrakan oleh pengurus Negara sebagai daerah berbahaya, mendidih dan terus-menerus dirundung konflik bersenjata.

Naomi Klein pun menulis dengan kritis di the Guardian ketika George W. Bush begitu lamban mengungkapkan kedukaan serta begitu sedikit menjanjikan bantuan Amerika Serikat. Dalam analisisnya ia kaitkan sikap itu dengan kampanye Bush, Perang Terhadap Terorisme Dunia, yang senantiasa dicitrakan sebagai peang terhadap dunia Islam. Dan Aceh terkenal sebagai the Veranda of Macca.

Ketika pemimpin-pemimpin Eropa Barat mengecam sikap Bush, juga para cendekiawan Amerika Serikat terkemuka, kabinet dapur Bush berubah sikap, bahkan berlebihan. Kapal induk berikut satuan pendukungnya, USS Abraham Lincoln (CVN 72) Carrier Strike Group (CSG), dikerahkan. Administrasi Bush menjanjikan 350 juta dollar AS untuk penanganan pasca-bencana dan pemulihan wilayah. Catatan kritis Naomi Klain membedah niat di balik kebiajakn tersebut, berangkat dari dokumen analisis situasi yang disusun oleh sebuah tim ekonom pengikut Friedman. Kapitalisme bencana, tulisnya di the Guardian, sudah dimulai.

Tak seperti halnya badan-badan "bantuan pembangunan" bilateral lain yang secara normatif masih berada dalam radar akal sehat dan kelaziman, dimana mereka memusatkan perhatian pada perbaikan dan pembangunan-ulang permukiman, sarana dan prasana sosial dan fisik kampung dan kota, kebijakan Bush terhadap Aceh mengundang perhatian Naomi. Rencana pembangunan jalan bebas hambatan (highway) antara Banda Aceh dan Meulaboh mengundang tanya.

Tak hanya Naomi Klein, analisis dan tulisan dari berbagai pengamat kritis mengajukan pertanyaan dasar, "Mengapa highway? Apakah itu yang dibutuhkan rakyat Aceh?" Pertanyaan itu saya lontarkan pada suatu diskusi di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pada Maret 2005, ketika tim Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (US Aid) memaparkan rencana mereka. Jawaban yang berkesan sekenanya, tetapi mampu menghentikan tanya berikutnya, diungkapkan ketua tim mereka, "Why not?"

Sesuai dugaan Naomi Klain, Haliburton, perusahaan kontraktor milik Dick Cheney, bekas Menteri Pertahanan Amerika Serikat kabinet George W. Bush, dilibatkan, ketika kuku perusahaan itu masih dalam menancap di Afghansitan dan Irak sebagai penyedia sarana pendukung kelancaran operasi militer serta pendukung kehidupan prajurit. Total bantuan 350 juta dollar AS tak bersisa banyak ketika ia dikurangi oleh ongkos operasi kapal induk USS Abraham Lincoln serta biaya operasi perusahaan kontraktor Haliburton serta biaya-biaya overhead berbagai perusahaan konsultan di belakang proyek pembangunan highway Banda Aceh - Meulaboh. Apa saja bisa dibangun, atas nama kemendesakan dan kegawatan. Apalagi Aceh adalah wilayah yang kaya sumber-sumber alam, baik yang terbarukan (hutan dan kelautan) dan yang tak-terbaukan (minyak, gas dan mineral). Dan Naomi Klain menyorot rombongan ekonom asuhan Milton Friedman, yang tak hanya aktif pada kebijakan Amerika Serikat, juga di belakang Bank Dunia dengan prakarsa Dana Multi-donor (Multi-Donors Fund, MDF) di balik rencana tersebut.

Lepas dari catatan kritis itu, saya menyaksikan sendiri bahwa asumsi para ekonom di balik rencana-rencana canggih bangun-ulang Aceh sangat keliru, bahwa warga Aceh rontok setelah dihajar bencana dahsyat tsunami sehingga siap menerima apa pun yang diberikan. Karena, sebelum rencana itu selesai disusun rapih, tanpa ba-bi-bu menunggu rombongan penyumbang dan penderma, mereka mengais-ngais segala apa yang tersisa untuk bangkit lagi.

Warga korban pun tak punya keinginan muluk, mereka hanya ingin kembali ke tempat mereka dulu hidup dari generasi ke generasi, hanya ingin rumah tempat mereka berteduh dari hujan dan sengatan matahari, tempat mereka berkumpul dengan keluarga tersisa. Namun bukan pemulihan semangat hidup yang didorong, melainkan rekayasa fisik tempat hidup yang seringkali tak ada hubungannya dengan semangat yang ada, karena ia tak berlandaskan pada suasana batin warga korban yang sulit diserap meski lewat konsultasi publik dengan teknik dan metodologi yang paling canggih sekalipun. Warga korban butuh rumah, tetapi mereka dibuatkan Disneyland, yang berkesan kemilau dan gagah tetapi belum tentu mampu memenuhi kebutuhan batin warga, belum lagi soal biaya perawatannya belum tentu mampu dipenuhi.

Dalam buku terbarunya, The Shock Doctrine, Naomi Klein menggambarkan dengan cerdas, "Anda bisa membongkar mental dan fisik seseorang lewat teknik dan alat siksa paling canggih sekalipun, tetapi Anda tak akan pernah mampu membangkitkan roh orang itu untuk menjadi manusia seutuhnya, dengan menganggap mereka adalah kertas putih kosong yang siap diisi apa saja. Yang Anda ciptakan adalah sosok manusia yang hancur yang kemampuannya lebih rendah dibandingkan sebelumnya."

Ungkapan itu ia persandingkan dengan ajaran Milton Friedman. Apa pun yang akan dibangun di suatu wilayah yang dilanda trauma kolektif baik akibat bencana alam dahsyat, konflik dan perang maupun krisis ekonomik dan krisis ekonomi-politik, ia tak akan mampu mengubahnya menjadi suatu wilayah impian (para perancangnya). Naomi tegas menyatakan, rombongan Milton Friedman senantiasa butuh wilayah bekas perang, korban bencana alam dahsyat, baru dilanda krisis ekonomi dan sebagainya. Dan rombongan itu sudah begitu berpengalaman, salah satunya lewat jasa konsultansi mereka untuk diktator Chili, Pinochett. Inilah yang disebut kapitalisme bencana oleh Naomi Klein.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Pojok Hablay said...

dengan pro dan kontranya, buku ini memang membuka mata, sayangnya belum diterjemahkan ke bahasa indonesia.