Friday, November 20, 2009

Wajah di Balik Pupur (Citra)

Awicaks

Memang kita tidak perlu menyesali apa yang sudah dipilih. Sebagai rakyat biasa tidak ada yang bisa dilakukan, bahkan tidak untuk menyesal. Yang menjadi gerutuan kita - sekedar sebagai rakyat biasa, dan sekedar sebagai gambar latarbelakang para pemimpin yang tampil rapih, klimis dan wangi - adalah sikap tidak tahu diri mereka. Di Indonesia, negeri amburadul ini, nurani pemimpin memang barang langka. Mereka pikir rakyat bodoh dan bisa ditipu dengan muslihat dan akrobatik yang jauh dari canggih; sungguh ala kadarnya. Jika mau jujur, hasil pilihan rakyat atas mereka bisa jadi tidak bebas dari muslihat dan akrobat penghitungan suara. Jadi sungguh, kita tidak perlu menyesal.

Sejak Tim 8 dibentuk SBY saya sudah menduga upaya ini tidak akan kemana-mana. Persis seperti Tim Pencari Fakta Pembunuhan Munir. Toh mereka yang merasa diri mereka pemimpin bangsa memang tidak peduli pada gerutuan rakyat. Mereka bisa tidur siang barang sejam dua jam sambil disela-sela sesi pemotretan dan upacara-upacara pendongkrak citra yang sudah dijadualkan. Namun tidak sedikit yang kecewa karena sebelumnya mereka begitu sangat percaya bahwa SBY akan melakukan tindakan yang tegas menindaklanjuti temuan dan rekomendasi Tim 8. Mereka mungkin adalah yang memilihnya pada Pemilihan Presiden tempo hari.

Apa mau dikata pilihan yang disodorkan memang tidak ada yang ideal. Boleh dibilang kemenangan SBY adalah kemenangan tak-terhindarkan karena diuntungkan oleh citra lawan-lawannya yang sangat buruk di benak publik, terutama sosok para kandidat wakil presiden dari kontestan presiden yang lain. Kalau pada permainan tennis lapangan disebut kemenangan advantage, skor diperoleh karena kesalahan lawan. Jadi, menurut saya, kurang tepat jika kemenangan SBY adalah suatu situasi pilihan terbaik dari yang terburuk (the best among worst).

Logika lain yang mungkin membuat rakyat pemilih kecewa adalah, kemenangan SBY kali ini memang sangat diharapkan. Sebagai presiden yang tidak mungkin dipilih lagi, mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945, rakyat berharap SBY akan bekerja habis-habisan dan bersikap nothing to lose. Tetapi terkait dengan kasus KPK versus Kepolisan dan Kejaksaan ternyata ia tidak berani bersikap nothing to lose. Eep Syaifulloh di Kompas 19 November 2009 mencoba mengulas dan menelaahnya dengan bernas peluang-peluang kenapa SBY tidak bersikap nothing to lose menghadapi kasus benturan KPK versus Kepolisian dan Kejaksaan.

Apabila kita simak betapa para anggota DPR yang terhormat dari Fraksi Partai Demokrat habis-habisan berusaha menggagalkan dan mengganjal Angket DPR terhadap kasus Bank Century, rasanya tidak dibutuhkan seorang pakar untuk menarik benang merah dengan absennya sikap nothing to lose SBY dalam menghadapi konflik KPK versus Kepolisian dan Kejaksaan. Meskipun tidak memiliki data (yang seringkali justru rawan dimanipulasi dan direkayasa) rakyat hanya bisa bergunjing di warung-warung tentang peluang keterkaitan antara kasus Bank Century dengan mandeknya peluang penuntasan perseteruan KPK versus Kepolisian dan Kejaksaan yang sudah diupayakan lewat kerja-kerja Tim 8. Gamblang pula di depan mata dengan sikap para anggota DPR yang terhormat dari Komisi III, ketika mereka melakukan rapat kerja dengan jajaran Kepolisian, yang dikutuk banyak pihak sebagai pertunjukan paling tidak sensitif dengan rasa keadilan rakyat.

Belum lagi rejim SBY-Boediono mencapai 100 hari kita, sebagai rakyat biasa, dapat mencium baru amis di balik kemenangan besar-besaran Partai Demokrat pada pemilihan legislatif dan kemenangan SBY-Boediono pada pemilihan presiden. Pupur pencitraan sudah rontok sebelum hari keseratus tiba. Mestinya mereka semua menyimak pepatah lama yang berbunyi, “Tidak ada maling yang hidup dengan tenang. Meskipun ia seorang Robin Hood sekalipun.”

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: