Sunday, February 21, 2010

Muhammad Supardjono, Si Tukang Cukur

Sesuai kebiasaan Jawa, pangkal nama Muhammad jarang diucapkan, bahkan biasanya dipanggil Muh, plus nama asli. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa untuk menampilkan sahabat kita yang kini telah berusia 76 tahun ini

Oleh Ahmad Syafii Maarif | Opini | Kompas Cetak | 18 Februari 2010

Jika Anda berbelok dari arah timur Jalan Diponegoro Yogyakarta sampai di simpang empat Jalan Magelang, kemudian bergerak terus ke utara, ada jalan kampung ke jurusan barat menuju Pasar Jambon. Sekitar dua kilometer kemudian, ada jembatan yang baru direnovasi.

Hanya beberapa meter dari jembatan itu, di sisi kiri jalan ada plang Potong Rambut. Di situlah ”istana” tempat sahabat kita ini bekerja dengan tarif Rp 5.000 per kepala. Juga di sana pula dia tinggal di atas sebidang tanah seluas 130 meter persegi (m) milik anaknya, seorang anggota TNI Angkatan Darat yang dinas di Kebumen.

Anak yang lain ada yang pegawai negeri dan swasta. Pernah bermukim di Palembang selama enam tahun menjalani profesinya, tetapi setelah istrinya wafat, ia mudik ke Yogyakarta. Dipagari dinding bambu yang sudah sepuh dan rapuh, Supardjono yang juga ahli urut dan pemimpin salawat nabi dalam bahasa Jawa tampak senantiasa santai. Tak peduli skandal Bank Century yang heboh, juga tak mau tahu dengan pemimpin peragu, tetapi dia resah dengan harga-harga sembako yang mulai berangkat naik.

Sebagai pelanggan, saya menikmati berbincang dengannya, apalagi dengan urut sekaligus. Ada pensiun Rp 200.000 saban bulan yang diterimanya dari Natour Hotel Garuda, tempat ia lama bekerja. Anda jangan mengira pria seumur itu tak kuat lagi membanting tulang. Sawah disewanya untuk tambahan penghasilan. Sekarang saja ada 3.600 m sawah yang tengah digarapnya pagi dan sore.

Sendirian mencangkul. Setelah dipotong biaya untuk keperluan luku, tanam benih, dan tuai, penghasilan bersihnya sekali panen (dalam tempo 100 hari) setelah diparo dengan pemilik, jika padi tak diserang hama, tersisa sekitar Rp 500.000 untuk garapan 1.000 m. Ini sebenarnya tidak lain dari upah cucuran keringatnya dalam usia tua.

Sebagai tukang cukur dan urut, ia punya relasi yang luas. Ada mantan sopir pelukis Affandi yang juga seorang pelukis sering nongkrong di gubuk itu sambil bercukur. Pendek kata, ia tak pernah kesepian. Istri barunya yang juga sudah tua tak serumah, tetapi makanan sering diantar. Saat saya tanya mengapa demikian? Jawabnya enteng: ”Sampun sami-sami sepuh.” Sebagai tukang urut profesional, ia cukup piawai bagaimana agar aliran darah (bukan aliran dana Century) dalam tubuh manusia menjadi lancar. Punya sedikit pengetahuan anatomi tubuh manusia.

Dalam serba kesederhanaan, hidupnya terlihat tenang, yang membuat saya kadang-kadang merasa ”iri” kepadanya. Dalam usia yang hampir sebaya, saya merasakan harga ketenangan itu sering jadi mahal, mahal sekali, apalagi jika kita punya banyak urusan yang berketiak ular, tak jelas ujungnya, sampai satu saat dihentikan secara tiba-tiba oleh kekuatan dahsyat yang tidak dapat ditolak: maut!

Cahaya kearifan

Sekiranya para petinggi negara dan kita semua mau ingat akan kehadiran kekuatan dahsyat itu, tentu energi bangsa ini tak akan habis sia-sia. Pertimbangan moral pasti dijadikan acuan utama dalam berpikir dan berbuat sehingga warga negara seperti Supardjono yang masih bertahan dengan sisa stamina fisik dan semangatnya bisa menjalani hidup lebih baik. Jumlah penganggur pasti akan jauh menyusut dan secara berangsur tujuan kemerdekaan berupa keadilan dan kesejahteraan buat semua bukan lagi mimpi, tetapi kenyataan. Pertanyaannya: masih adakah di antara pemimpin yang mau berpikir tentang maut yang terkait erat dengan sikap dan konstruksi moral seseorang?

Satu kali ia mengeluh kepada saya tentang tingkah tetangga setengah baya yang isi otaknya hanya uang dan uang. Bapaknya sendiri yang membesarkan orang itu tidak jarang diperlakukan sebagai pembantu, padahal tanah dan rumah yang ditempatinya adalah milik bapaknya. Panorama semacam ini pun menjadi perhatian tukang cukur kita ini.

Saya tak bisa membayangkan sekiranya Supardjono mengerti betul tentang kultur busuk yang melingkungi sekujur tubuh anak bangsa yang sering bangga dengan agama yang dipeluknya, dia mungkin tak bisa tidur karena semuanya itu sudah berada di luar radius nalar dan nuraninya yang belum tercemar.

Ternyata selalu saja ada kedipan cahaya kearifan dan nurani yang berfungsi di celah-celah kehidupan rakyat kecil yang jumlahnya puluhan juta, bertebaran di seluruh sudut Nusantara. Optimisme masa depan kita sering diperkuat contoh-contoh sederhana yang sering diabaikan di tengah-tengah rapuh dan kelamnya cuaca moral kita sekarang.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Anonymous said...

To be a good charitable being is to from a amiable of openness to the mankind, an cleverness to trusteeship uncertain things beyond your own control, that can govern you to be shattered in uncommonly exceptionally circumstances for which you were not to blame. That says something very important about the fettle of the honest compulsion: that it is based on a trustworthiness in the up in the air and on a willingness to be exposed; it's based on being more like a shop than like a sparkler, something fairly feeble, but whose acutely item attraction is inseparable from that fragility.