Friday, June 22, 2007

Keluar Dari Struktur

Awicaks

Perdebatan kosong tanpa ujung. Beberapa orang melihat terpilihnya sebagian besar kawan sebagai komisioner Komnas HAM merupakan peluang. Sebagian lagi justru mencibir, "Jangan kalian berbangga. Yang memilih kalian itu para maling, penipu, dan bajingan manipulator aspirasi rakyat!" Perdebatan tentang harapan, optimisme, pesimisme tak berhenti pada mekanisme rekrutmen komisioner Komnas HAM, tetapi kegunaan duduknya sebagian besar aktivis di komisi tersebut.

Apa yang diharap dengan kehadiran sebagian besar aktivis organisasi non-pemerintah (ornop)? Mempraktekkan kolusi dan nepotisme karena, "Tenang saja, ada kawan-kawan di dalam. Urusan kita pasti gampang beres"? Apa bedanya dengan pertemanan dengan petugas kelurahan untuk kemudahan pelayanan mengurus KTP?

Komnas HAM bolehjadi adalah jawaban dari pertanyaan yang salah. Tanggungjawab pengurus Negara menjamin tegaknya hak-hak dasar warga adalah aksiomatik secara normatif dan legal formal. Tetapi kenyataannya, dengan semangat merkantilisme dan oportunisme yang tinggi, pengurus Negara, baik di legislatif, eksekutif, yudikatif dan peralatan-peralatan kekerasannya, tidak merasa perlu memikirkan tentang hal itu secara serius. "Siklus hidup kita kan pendek saja. Ganti boss, kita pun akan tersingkir. Sulitlah untuk jadi idealis." Dengan karakter sistem kepengurusan Negara seperti itu, komisi apa pun yang dibentuk pada akhirnya memang tidak bertujuan untuk tindakan solutif untuk menuntaskan krisis yang dihadapi warga. Umumnya lebih untuk menciptakan citra penyeimbang, sesuai permintaan badan-badan donor dan kreditor, agar sistem terlihat demokratik.

"Tetapi itu adalah peluang. Tujuan kita adalah menyusup, menggoyang dari dalam." Alangkah naifnya. Ada banyak keistimewaan, kemewahan dan kesenangan-kesenangan yang ditawarkan begitu kita masuk ke dalam struktur. Hal-hal yang tidak mungkin kita peroleh jika hanya sekedar menjadi warga biasa. Sehingga kisah tentang prakarsa solusi struktural dari dalam tak lebih sekedar isapan jempol saja. "Mukzizat kalau itu bisa terwujud, karena kuat sekali rejim ekonomi pertumbuhan pro-pasar bebas ini. Dengan mentalitas dan mutu moralitas seperti yang ada sekarang, tidak pernah akan ada solusi yang struktural di negeri ini," ujar seorang kawan.

Setidaknya ada dua pilihan solusi, berangkat dari skala dan jangka-waktu pengerjaan. Bolehjadi apa yang kawan tadi katakan, bahwa ini mukzizat, adalah benar, jika kita bicara pada skala negara. Seorang komentator tanpa nama mengatakan bahwa konsep negara Indonesia masih harus terus diperdebatkan. "It's too huge to be true." Sehingga solusi mestinya ditempatkan pada skala yang relatif lebih kecil agar publik dapat turut terlibat dalam meraih keberhasilan proyek solutif dan menikmatinya dengan tingkat kepuasan tinggi. Skala yang lebih kecil tidak selalu mencerminkan jangka-waktu yang relatif pendek. Bisajadi justru butuh waktu lama. Karena di sinilah letak kesalahan "pertanyaan" yang diajukan pada solusi-solusi di tingkat negara. Pertanyaannya selalu disisipi syarat, "dapat diwujudkan dalam waktu cepat." Bukan warga yang ingin melihat dan menikmati kisah keberhasilan itu, melainkan para perantara modal dan kuasa politik global.

Ada berapa banyak komisi-komisi ekstra struktural tetapi menyusu kepada anggaran Negara? Banyak sekali. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan sebagainya. Jika memang pengurus Negara ingin menunjukkan baktinya yang tulus menjamin keselamatan warga, mengapa harus ada komisi-komisi di luar struktur tersebut? Jadi, selain berfungsi sebagai hiasan bisajadi komisi-komisi tersebut adalah tabir asap (smokescreen), agar tata-kepengurusan Negara tetap bisa korup, dan tetap bisa menjadi sumber kuasa politik tanpa harus bertanggungjawab secara langsung kepada warga.

22 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: