Monday, December 21, 2009

Produsen adalah raja! Ini Indonesia, Bung!

Awicaks

Slogan yang umum kita dengar, “konsumen adalah raja,” atau seperti yang dilantunkan Paul Simon dan Art Garfunkel pada akhir tahun 60an menjelang awal 70an, “Keep Customers Satisfied”, agaknya tidak berlaku di Indonesia. Di negeri amburadul ini justru terbalik, “produsen adalah raja.” Tugas konsumen adalah membeli barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen, titik. Tidak boleh cerewet, tidak boleh mengeluhkan mutu, dan jika coba-coba menyebarluaskan lewat media Internet dan elektronik bisa tentang buruknya mutu barang dan jasa yang dihasilkan produsen, konsumen dapat dituntut secara hukum.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) didirikan oleh para aktivis sosial di akhir tahun 70an sebagai prakarsa menumbuhkan kesadaran publik tentang hak-hak mereka sebagai pemakai atau konsumen untuk dapat menikmati barang dan jasa yang aman dan terjaga mutunya. Namun arogansi gerombolan produsen di Indonesia begitu kukuh dan tidak tergoyahkan oleh terus bertumbuhnya kesadaran kritis publik sebagai konsumen. Selain karena dipermudah oleh birokrasi dari tata pengurusan Negara yang begitu korup, juga disebabkan oleh intimidasi instrumen pembodohan publik yang bersifat sistemik, baik lewat bombardir iklan-iklan yang mampu merontokkan konsep dan teori kebutuhan Maslow maupun melalui suatu tata pengaturan sepihak oleh Negara. Maka orang di kepulauan yang secara sejarah tidak pernah punya tali emosi dan biologik dengan produk-produk yang berasal dari susu sapi, gandum, daging sapi yang bukan spesies asli (exotic species), serta buah-buahan impor, berhasil ditaklukkan dan menjadikan produk olahan dari sumber tadi sebagai bagian tidak terpisahkan kebutuhan sehari-hari.

Ambruknya wibawa Negara yang takluk di hadapan para produsen barang dan jasa industrial menjadikan orang Indonesia sebagai konsumen bodoh dan tidak kritis, serta menjadi sasaran empuk bagi barang dan produk buangan dari negara-negara industri kaya. Orang yang secara tidak sengaja menelan sebuah besi stapler, yang entah bagaimana berhasil menyusup ke sebuah makanan kemasan, hanya bisa pasrah menerimanya sebagai nasib sial. Minimal mereka hanya mampu melontarkan sumpah serapah. Menuntut secara hukum produsen makanan kemasan tersebut? Itu mimpi di siang bolong, mengingat bobrok dan korupnya tata hukum dan peradilan di negeri kepulauan ini, yang juga telah takluk di hadapan kuasa-kuasa modal yang terlibat proses produksi barang dan jasa yang dikonsumsi publik.

Saya kira kisah Ibu Prita yang bergunjing lewat email tentang buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni International, hanyalah fenomena puncak gunung es. Kasus tersebut boleh dikatakan mewakili potret keangkuhan dan kecongkakan produsen barang dan jasa industrial di negeri ini. Sudah jadi pengetahuan umum, di bawah alam ekonomi-politik yang neoliberalis di Indonesia, kebutuhan orang Indonesia sebagai warganegara terhadap kesehatan dan pendidikan tidak lagi dijamin Negara. Mereka mesti merogoh kocek, bersaing dengan prioritas belanja lain, demi memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Omni International pun harus dilihat sebagai sebuah mesin industri pelayanan kesehatan. Gunjingan Ibu Prita telah dianggap sebagai usaha mencemari citra positif dan jasa pelayanan kesehatan rumah sakit bersangkutan.

Situasi diperparah oleh realita berbisnis yang tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kecenderungan untuk memperbesar ambang-laba (profit margin), dengan siasat pengalihan dampak-dampak negatif proses produksi terhadap lingkungan sekitar menjadi unsur di luar neraca produksi mereka. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta kerja-kerja pencitraan lewat jasa kehumasan (Public Relations, PR) sebagai usaha mengeksklusi dampak-dampak negatif menjadi unsur eksternal proses produksi sudah menjadi hal yang tidak dipisahkan dari tata-nilai dan praktik berbisnis di Indonesia. Keluhan dan protes konsumen cukup dilayani lewat respon yang pembiayaan berasal dari mata anggaran komunikasi eksternal, bukan dari mata anggaran proses produksi. Hal tersebut pun berlaku bagi unsur-unsur manajerial produksi yang terkait dengan mutu keluaran, seperti ISO maupun perangkat Total Quality Management (TQM) yang diimpor dari pola-pola produksi di negara-negara industri kaya yang kedisiplinan dan kepatuhan hukum sudah tegak berdiri. Kalangan produsen Indonesia tidak akan pernah berkeberatan untuk mengadopsi perangkat-perangkat serupa sepanjang tidak mengganggu ritual pembengkakkan ambang laba mereka.

Apakah mungkin di Indonesia para konsumen melakukan konsolidasi untuk memboikot produk atau jasa industrial tertentu? Sepanjang pengetahuan saya, sulit dilakukan. Jika pun ada, seperti yang pernah terjadi pada produk bumbu penyedap masakan, Ajinomoto, yang rontok karena ditengarai mengandung lemak babi di dalam produk mereka pada akhir tahun 90an, itu bukan hasil suatu tindak boikot oleh publik, melainkan hasil dari pengerahan sentimen publik oleh kuasa elit agamis, yang memperoleh dukungan kuasa politik Negara. Tali temali kepentingan kalangan produsen barang dan jasa industrial dengan elit politik dan elit kuasa Negara begitu erat dan rumit. Selain itu, tata konsumsi orang Indonesia sudah sedemikian jauh terjerat ketergantungan kepada barang dan jasa industrial, bahkan hingga ke pelosok-pelosok di kepulauan. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari jasa siaran televisi swasta, yang daya jangkaunya mampu membombardir pola kebutuhan tradisional dan bergeser menjadi pola konsumsi industrial.

Sulit ditolak, bahwa produsen adalah raja. Ini Indonesia, Bung!

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: