Saturday, January 30, 2010

Citra dan Cita(-rasa) Rombongan Sandiwara “Indonesia Bersatu Jilid Dua”

Awicaks

Dengan segala kuasa yang (sangat) erat digenggamnya SBY dan seluruh pengikutnya terlihat lebih panik dibandingkan alm Eyang Suharto di masa keemasan Orde Baru. “Orba sih lebih gampang, tinggal pakai aparat untuk membungkam warga kritis, selesai…. Sekarang kita harus lebih cerdik, Bung. Ini jaman perang citra….” Begitu pendapat salah seorang pemuja, yang kebetulan kawan dekat saya. Baiklah, jika ini memang perang citra, mari kita bedah seperti apa tulang belulang perang citra yang disampaikan kawan itu. Karena perang citra dalam suasana batin yang gundah, dengan adrenalin memburu, tentu tidak (akan pernah bisa) tampil santun.

Saat ini kita ibarat penonton yang disuguhi pertunjukkan sandiwara dengan naskah bodoh dan tambal sulam, kualitas berlakon para pemain yang homogenous ddidukung cita rasa yang rendah (dengan gerak tangan khas SBY), di bawah arahan sutradara yang berganti-ganti. Di penghujung sandiwara, para pemuja dan pengikut, yang takzim duduk di barisan muka, segera berebut melontarkan puji puja dengan hiruknya, tidak memberi ruang lowong sedikit pun bagi penonton lain untuk berkomentar.

Ketika komentar mulai merebak di luar gedung pertunjukkan, dari yang sinikal hingga sarkastik, sang pimpinan pertunjukkan pun (berusaha sekuat tenaga tampil) kalem (tetapi gagal menutupi kegusarannya) menanggapi, “Ah, ini kan baru babak pembuka. Mereka tidak paham alur besar kisah yang kami sajikan. Mereka tidak bisa menilai secara gegabah tanpa memahami garis besar dan arah cerita ini….”

Namun, di situlah terlihat gamblang kepanikan dan derasnya adrenalin memburu. Sebuah pertunjukkan yang tidak dipahami publik penonton adalah pertunjukkan yang gagal berkomunikasi, gagal menyampaikan gagasan cerita, dan bahkan gagal meyakinkan publik bahwa mereka layak tampil di atas panggung. Meminjam kutipan andalan seorang kawan, “Komunikasi adalah apa yang ditangkap dan dipahami pihak penerima pesan, bukan apa yang ingin kita sampaikan.” Komunikasi yang berhasil adalah, apabila penerima pesan mempercayai isi pesan, lalu tergerak untuk meneladani makna dan nilai yang terkandung dalam pesan tersebut.

Politik masa kini memang perang citra, Bung. Tetapi ketika gedung pertunjukkan sudah dikuasai, citra sudah bukan lagi menjadi faktor penentu. Penonton yang sudah mendemonstrasikan kesungguhan dan keseriusannya memilih rombongan sandiwara tertentu untuk menguasai gedung pertunjukkan selama masa promosi sudah pasti akan membeli tiket untuk datang ke gedung pertunjukkan. Kini saatnya rombongan sandiwara itu untuk memberi inspirasi yang kuat bagi publik penonton agar mau dan mampu menggerakkan diri mereka meraih dan mewujudkan impian-impian mereka yang dijanjikan selama masa promosi.

Dengan kondisi gedung pertunjukkan yang megah dan gagah penampakkan luarnya tetapi compang-camping dan penuh nyamuk penghisap darah yang ganas di dalam gedung, dalam waktu singkat rombongan sandiwara itu akan kehilangan penonton. Hal itu sangat mungkin berlaku juga bagi pemuja fanatik, yang saat ini terus berharap suatu saat dapat ikut tampil di atas panggung, meski sekedar menjadi latarbelakang atau pelakon numpang lewat, atau bahkan cuma berdiri diam menjadi bagian dari property panggung. Dengan tubuh habis-habisan disengat nyamuk penghisap darah yang ganas para pemuja (dengan rasa malu luarbiasa) perlahan akan keluar mengendap-endap ke arah pintu keluar gedung.

Publik penonton tidak bodoh dan sangat mahfum bahwa gedung pertunjukkan yang megah itu kropos di bagian dalamnya. Pada situasi dengan tekanan hidup yang demikian berat, publik sudah malas mengomentari hal tersebut. Tetapi di beberapa pojok relung di sekitar gedung ada kemarahan yang ditekan, “Nantilah di masa promosi berikutnya kita beri mereka pelajaran.” Mereka pun sudah tidak peduli dengan segala embel-embel tambahan yang dikerahkan penguasa gedung pertunjukkan dengan tujuan mempercantik tampilan luar gedung, serta pernak-pernik baru yang berkilat dan mahal yang dieknakan para pelakon.

Babak pertama 100 hari pertunjukkan dipenuhi adegan huru-hara yang sering melenceng dari naskah utama, karena naskah yang disiapkan tidak mampu menyerap realita yang bergolak di luar gedung. Hal itu diperparah pilihan para pelakon oleh pimpinan pertunjukkan yang (ternyata) tidak (akan pernah) bisa bekerjasama dengan baik meyakinkan publik penonton, meskipun kriteria yang digunakan dikatakan sudah cukup rumit dan handal. Kemungkinan besar kriteria yang digunakan tidak mencakup hal-hal mendasar yang justru dibutuhkan bagi sebuah sandiwara politik yang baik: Ketauludanan dan kepempimpinan.

Sekarang memang masanya perang citra, Bung. Tetapi citra polesan dan cangkokan tidak akan pernah mampu menggantikan ketauladanan dan kepemimpinan sejati yang justru menuntut pengorbanan tanpa pamrih. Jadi, perang citra tidak akan pernah cukup, Bung.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: