Sebuah lukisan kusam bergambar wajah penuh ketakutan dan tangan yang menyerah tergantung di dinding rumah Supriatna (58), sesepuh di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. ”Lukisan itu berkisah tentang orang-orang kampung yang tergilas roda pembangunan di Jatinangor,” kata Supriatna sambil menghela napas
BUDI SUWARNA & YULIA SAPTHIANI | Kompas Cetak | 21 Februari 2010
Bukit Geulis dan sawah di Desa Sayang, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, ini mungkin akan menjadi bukit dan sawah terakhir sebelum "ditanami" gedung, hotel, mal, atau apa saja yang dibutuhkan sebuah kota. KOMPAS/YULIA SAPTHIANI
Lukisan karya Sri Sayekti—alumnus IKIP Bandung—itu, tambah Supriatna, mewakili perasaan sebagian besar warga kampung Jatinangor dalam satu dekade terakhir. Pembangunan yang ekspansif dan membabi buta di sana justru membuat mereka merasa asing di kampungnya sendiri.
Supriatna mengenang, dulu kaki Gunung Manglayang di utara Jatinangor dipenuhi tanaman karet dan teh. Hanya dalam dua dekade kawasan itu berubah menjadi kompleks universitas, mulai dari IPDN (dulu STPDN), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Ikopin, hingga yang paling besar Universitas Padjadjaran (Unpad).
Sawah dan tegalan di selatan, timur, dan barat Jatinangor dalam seketika berubah menjadi wilayah kos-kosan—dari yang butut sampai yang mewah, warung makan, restoran, kafe, lapangan futsal, perumahan, vila, hotel, mal, hingga apartemen. Adapun sejumput sawah yang tersisa di kaki bukit Geulis, sebagian sudah dipatoki tanda: ”Dijual”. Barangkali, sawah itu akan menjadi sawah terakhir di Jatinangor.
Penduduk Jatinangor pun harus hidup berdampingan dengan mahasiswa dari berbagai daerah—bahkan mancanegara—yang kultur, gaya hidup, dan
bahasanya berbeda. Sampai-sampai, sebagian penduduk Jatinangor berkesimpulan, pembangunan di kawasan itu tidak memberikan banyak manfaat kepada mereka, tetapi sebaliknya merebut apa yang mereka dulu miliki, termasuk tanah yang menjadi modal utama mereka sebagai petani.
Kenangan
Agus Jumiatin (33), warga Desa Caringin, menceritakan, tahun 1980-an, orangtuanya memiliki tanah seluas 25 tumbak (1 tumbak setara dengan 14 meter persegi). “Waktu itu tanah di sana harganya hanya Rp 32.000 per tumbak. Tiba-tiba datang orang kota yang berani beli Rp 35.000-Rp 100.000 per tumbak. Orangtua saya dengan senang hati menjualnya dan tanah itu diubah pembelinya menjadi tempat kos-kosan,” katanya .
Setelah tanah itu dijual orangtua Agus tidak punya apa-apa. Uang hasil penjualan tanah pun menguap begitu saja. Untuk menopang kehidupan keluarga, Agus bekerja di kos-kosan yang berdiri di bekas tanah milik orangtuanya dengan upah Rp 200.000 per bulan. ”Saya ngepel kos-kosan yang dulu tanah leluhur saya,” katanya. Sekarang dia tinggal menumpang di sepetak kamar milik mertuanya.
Cerita Nungkurniasih (49), warga Desa Hegarmanah, tidak kalah menyedihkan. Dia menceritakan, selama tiga turunan keluarganya tinggal di tanah perkebunan karet di Cikadu, Jatinangor yang dulu dikuasai Belanda. Di tanah itu keluarganya dulu bertani dan memelihara domba.
Tahun 1982 tiba-tiba Nung dan keluarganya diminta pindah dari tanah tersebut dan diberi uang Rp 1,4 juta. Tanah itu kemudian menjadi bagian dari kampus Unpad. Setelah itu keluarganya tidak punya rumah sebagai tempat tinggal. Akibatnya, sampai sekarang Nung dan keluarga terpaksa menumpang tinggal di rumah kerabatnya.
Keluarga Nung juga tidak memiliki tanah yang bisa diolah. Suaminya menjadi pengangguran. Nung sendiri terpaksa bekerja sebagai petugas kebersihan di kampus Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad dengan upah Rp 600.000 per bulan. Ketika menyapu atau mengepel lantai gedung-gedung di kampus tersebut, Nung hanya bisa mengenang bahwa kampus itu dulu adalah tempat dia bermain dan menggembala ternak.
”Ngopi” di mal
Bercerita tentang pembangunan Jatinangor, pada akhirnya kita memang harus ber bicara tentang kisah orang-orang yang kalah. Kerap kali pembangunan bukannya menyejahterakan, tetapi justru memiskinkan warga setempat.
Kalaupun ada pekerjaan untuk mereka, paling banter sebagai tukang ojek, tukang cuci, dan satpam kos-kosan.
”Mau dagang tidak punya modal. Mau bekerja, tidak punya ijazah,” kata Supriatna. Mantan kepala sekolah sebuah SD di Jatinangor ini mengatakan, hingga tahun 2000-an, sebagian besar penduduk Jatinangor hanya lulusan SD.
Dulu, tanpa punya ijazah, kata Supriatna, orang Jatinangor bisa hidup. Betapa tidak, alam memberikan hampir semua kebutuhan dasar mereka. Mata air di Gunung Manglayang mengalirkan air minum ke rumah-rumah warga, sawah-sawah di sebelah barat, timur, dan selatan Jatinangor menghasilkan butir-butir padi yang bernas. Semuanya kini rusak. Alam bahkan tidak lagi memberikan air bersih, tetapi mengirimkan banjir setiap musim hujan.
Sekarang, semua kebutuhan dasar disediakan mal. Persoalannya, warga Jatinangor kebanyakan tidak punya uang untuk membeli barang-barang mal. Yang bisa beli hanya mahasiswa dan para pendatang.
”Kami hanya bisa menonton sambil membayangkan enaknya minum kopi di mal seperti mahasiswa yang keren-keren itu,” kata Agus.
No comments:
Post a Comment