Friday, March 05, 2010

Tanggung Jawab Minus Kejujuran

SAIFUR ROHMAN | Opini | Kompas Cetak | 4 Maret 2010

Sehari sebelum Sidang Paripurna DPR yang ricuh, di depan 54 anggota Masyarakat Perbankan Indonesia, Presiden Yudhoyono menyatakan bertanggung jawab atas keputusan adanya dana talangan ke Bank Century, Senin (1/3). Sebab, menurutnya, keputusan itu diambil atas nama penyelamatan perekonomian Indonesia.

Benarkah Presiden bersedia memikul tanggung Jawab? Sampai sejauh mana pertanggungjawaban itu mestinya dilakukan eksekutif untuk memperbaiki kinerja pemerintahannya? Apa implikasinya bagi perkembangan demokrasi di republik ini?

Pertanyaan itu dapat dijawab bila kita mencermati secara saksama pernyataan Presiden. Pola pikir antropologi struktural memberikan pelajaran tentang perlunya pemahaman struktur bahasa sebagai titik tolak pemahaman orientasi kekuasaan. Praktiknya, kalimat-kalimat Presiden yang tersusun secara konseptual itu tentulah mencerminkan spirit yang dijadikan sebagai patokan menjalankan republik ini. Analisis ini akan menunjukkan bagaimana konstruksi kosa- kata memberikan cermin atas konstruksi sikap terhadap kasus yang memakan waktu dan tenaga ini.

Kalimat kontradiktif

Sebelum menyatakan bertanggung jawab, Presiden menyusun jenis kalimat majemuk dengan anak kalimat yang bersayap. Dia mengatakan, ”Meski saya di luar negeri... meski wakil saya yang menjalankan tugas sehari-hari ...meski tidak melalui izin saya, .... saya bertanggung jawab” (Kompas, 2/3/10).

Kalimat di atas memberikan informasi tentang dua kondisi yang berbeda. Pertama, kesediaan untuk bertanggung jawab atas keputusan dana talangan. Kedua, bahwasanya keputusan itu pada kenyataannya tidak dibuat oleh Presiden karena saat itu dia sedang berada di luar negeri selama 13 hari. Kondisi itu ingin membuktikan bahwa dia tidak tahu dan yang paling tahu adalah wakilnya.

Prinsip dasar logika yang dikembangkan oleh Aristoteles pada 2.500 tahun yang lalu mensyaratkan adanya asas non-kontradiksi. Bunyinya, ”Sebuah pernyataan logis itu tidak mengandung pertentangan di dalam dirinya (245B: 2).” Contoh, jika kita mengatakan lantai itu hijau, kita tidak bisa mengatakan lantai itu tidak hijau. Contoh lain, kalimat itu sama dengan ucapan ”Saya bersedia memberimu uang, tetapi saya tidak punya.” Dengan begitu, kalimat itu nirmakna.

Bila direfleksikan terhadap kalimat Presiden, dua kondisi yang bertentangan yang terdapat di dalam kalimat itu tidak sesuai dengan prinsip nonkontradiksi. Kalimat itu selaras dengan pernyataan, ”Saya bertanggung jawab, tetapi saya tidak melakukannya.” Tidak berlebihan jika dikatakan kalimat itu tidak logis karena pernyataan tanggung jawab itu tidak didukung oleh sebab-sebab yang memadai. Kondisi sebab menunjuk pada tindakan orang/pihak lain.

Di dalam asas dasar moralitas, pertanggungjawaban sebagai bagian dari sistem nilai melekat pada tindakan pelaku sebagai sistem fakta. Tidak ada yang lebih jelas merumuskan relasi antara fakta dan nilai di atas kecuali Immanuel Kant dalam buku Fundamental Principles of the Metaphysic of Morals (1786). Asas imperis kategoris menyatakan, siapa berbuat, dialah yang bertanggung jawab.

Kesungguhan

Bila mengacu pada asas Immanueal Kant di atas, orang yang bertanggung jawab bukanlah presiden karena dia ”tidak tahu” dan ”tidak melakukannya”. Artinya, pernyataan tanggung jawab yang diucapkan itu tidak mengacu pada dirinya, tetapi kepada orang lain. Bagaimana mungkin dia bertanggung jawab, tetapi dia tidak melakukan? Karena itu, pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden adalah bentuk ungkapan yang tidak memberikan pemecahan apa pun, kecuali melemparkan kepada pihak lain.

Becermin dari kasus ini, kita patut mempertanyakan kesungguhan Presiden mewujudkan bentuk pertanggungjawaban itu. Kasus Century bukanlah permainan kata. Sejumlah fakta yang terungkap dalam pansus ataupun di luar cukuplah dijadikan sebagai titik pijak melakukan keputusan untuk memperbaiki keadaan. Kiranya menjadi fakta publik tentang nasib nasabah Bank Century yang masih terkatung-katung hingga kini. Tidak bisa dimungkiri bahwa sejumlah pelaku seolah masih kebal proses hukum. Fakta-fakta kriminal dalam dunia perbankan berubah menjadi komoditas politik.

Karena kita meragukan, maka mewujudkan pertanggungjawaban itu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam pendidikan politik bangsa sebab kasus-kasus lain di luar dan lebih besar dari Bank Century bukannya tidak ada. Di dalam alur pembangunan demokrasi di negeri ini, pendidikan demokrasi bukannya lepas dari kesalahan, melainkan bagaimana kesalahan pemimpin itu diperbaiki. Sudah saatnya muncul para pembelajar untuk terus memperbaiki rupa demokrasi di negeri ini.

Sampai di sini tidaklah berlebihan bila kita menginginkan pengakuan yang jujur karena pengakuan itu bukanlah sebuah akhir seorang pemimpin.

SAIFUR ROHMAN Dosen Filsafat Universitas Semarang
(c) 2008 - 2009 KOMPAS.com - All rights reserved

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

2 comments:

Anonymous said...

To be a adroit benign being is to be enduring a philanthropic of openness to the far-out, an cleverness to guardianship aleatory things beyond your own restrain, that can govern you to be shattered in very outermost circumstances as which you were not to blame. That says something uncommonly weighty thither the condition of the principled passion: that it is based on a corporation in the uncertain and on a willingness to be exposed; it's based on being more like a plant than like a prize, something fairly fragile, but whose mere precise attraction is inseparable from that fragility.

Anonymous said...

buy tramadol tramadol bluelight - buy tramadol in canada