Monday, December 27, 2010

Rindu Pemimpin Meneladani

Subhan SD | LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG POLITIK DAN HUKUM (6) | Kompas | 27 Desember 2010

Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720) menerima cendekiawan yang juga seorang menteri, Raja’ bin Haiwah, tiba-tiba lampu padam. Raja’ bin Haiwah bergegas berdiri dan hendak memperbaiki lampu, tetapi Umar melarangnya. Umar pun memperbaikinya sendiri.

clash of civilisation at Pasar Pagi

Jika kamu duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz (yang tak perlu diistimewakan). Jika kamu berdiri, aku juga tetap seorang Umar bin Abdul Aziz,” kata Umar yang memimpin Dinasti Umayyah pada tahun 717-720.

Kisah klasik Umar bin Abdul Aziz itu sering diangkat ketika membicarakan masalah keteladanan seorang pemimpin. Umar menunjukkan bahwa seorang pemimpin tetaplah seorang pelayan bagi mereka yang kedudukannya lebih rendah atau rakyat. Menjadi pelayan rakyat, martabatnya tidak lantas hancur. Bahkan, sebaliknya menjadi kekuatan yang membangun konstruksi kepemimpinannya. Sayangnya, di zaman sekarang, kisah seperti itu ibarat dunia dongeng.

Apa yang dilontarkan mantan Presiden BJ Habibie di arena muktamar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), awal Desember lalu, bahwa para pemimpin negeri ini berperilaku sangat feodalistik seharusnya menjadi otokritik bagi kita semua. Rasanya tidak logis ketika sistem demokrasi di negeri ini dipuji-puji, termasuk oleh sejumlah negara lain, ternyata perilaku para pemimpinnya malah cenderung feodal.

Mencari pemimpin yang ideal dan memberikan keteladanan bagi rakyat, khususnya selepas reformasi sekitar 12 tahun silam, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Tipikal pemimpin yang menjadi pembicaraan saat ini justru pemimpin yang cenderung pragmatis, terlebih di kalangan pemimpin politik. Saling hujat di antara para pemimpin politik menjadi menu sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit pemimpin politik yang terlibat perbuatan amoral hingga korupsi.

Para pemimpin di eksekutif tak kapok walaupun berulang kali rekan sejawat mereka dipenjara karena memakan uang rakyat, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Mereka yang terkena kasus korupsi mulai dari tingkat menteri, direktur jenderal, gubernur, wali kota/bupati, pejabat eselon III-IV, bahkan juga hingga tingkat terendah di kelurahan/desa.

Begitu juga di kalangan legislatif, misalnya anggota DPR periode 1999-2004 yang terjerat kasus korupsi cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom. Anggota DPRD yang masuk jeruji besi juga tidak sedikit akibat korupsi uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta penggelembungan anggaran (mark up) proyek.

Kondisi makin parah karena institusi yudikatif sebagai benteng terakhir penegakan hukum juga tak bersih dan malah ikut dalam putaran sindikat korupsi. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan menghadapi pukulan berat karena institusi itu tak bersih dari korupsi. Kasus Gayus HP Tambunan, mantan pegawai pajak golongan IIIA, barangkali menjadi erupsi korupsi yang sangat fenomenal, yang bertali- temali ke berbagai instansi penegak hukum itu.

Tidak meneladani

Panggung politik negeri ini pun diisi dengan karut-marut kisah yang sesungguhnya sangat tak layak, terutama bagi generasi muda yang mungkin 20-30 tahun mendatang akan menjadi pemimpin di negeri ini. Sebab, contoh yang diperlihatkan sekarang ini sesungguhnya menggerogoti pilar-pilar negeri ini.

Tak mengherankan, kaum muda terlihat sangat apatis dengan situasi negeri ini. Mereka tak ingin menjadi pemimpin organisasi atau pemimpin politik, sebagaimana terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan akhir Oktober 2010.

Di tengah harapan lahirnya pemimpin bangsa di masa depan, justru muncul ironi. Dalam jajak pendapat itu, kaum muda sama sekali tidak melirik ke bidang yang jelas-jelas mengurus rakyat, seperti politik. Sungguh aneh karena kaum muda itu justru tertarik menjadi pemimpin di kelompok pemuda, kelompok pencinta buku, dan kelompok bersepeda. Bahkan, kelompok pencinta hewan pun lebih diminati dibandingkan menjadi pemimpin di bidang lain.

Sebagian besar pemuda (86,3 persen) tak tertarik menjadi pemimpin di partai politik. Pertikaian internal partai atau friksi saling menikam dari belakang di antara elite parpol sepertinya menjadi contoh buruk yang membuat kaum muda berpaling dari parpol.

Padahal, parpol yang paling dominan sebagai kendaraan untuk bisa maju menjadi pemimpin bangsa. Runyamnya lagi, kaum muda lebih memandang minor terhadap kemampuan para pemimpin bangsa. Mereka menilai, para pemimpin parpol kurang kuat di sisi intelektualitas (49,3 persen), emosional (48,5 persen), dan spiritual (52,8 persen). Yang memandang kuat intelektualitas sekitar 33,3 persen, emosional (28,3 persen), dan spiritual (26,6 persen).

Sikap kaum muda itu memang tidak lepas dari sepak terjang para pemimpin negeri ini, terutama pemimpin politik. Di era demokrasi, justru para pemimpin negeri ini serasa ”tidak nyambung” dengan rakyat secara utuh. Rakyat hanya diurusi ketika pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres), dan pemilu kepala daerah (pilkada). Di luar pesta demokrasi itu, rakyat seperti tak terkoneksi dengan elite bangsa ini.

Apalagi beberapa usulan DPR, misalnya, membuat rakyat kecewa. Sebut saja soal pembangunan gedung baru parlemen yang menelan biaya sekitar Rp 1,6 triliun. Ketika kritik keras dituding ke arah DPR, para wakil rakyat yang terhormat itu ternyata tidak luluh juga hatinya. Walaupun dinilai tidak peka terhadap rakyat, para anggota DPR itu tetap melenggang melakukan kunjungan kerja ke sejumlah negara. Kini soal keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, maukah pemimpin kita benar-benar mendengarkan suara rakyat?

Sulit untuk berdebat bahwa saat ini ada kesenjangan antara suara rakyat dan suara para pemimpinnya. Ketika rakyat menghendaki pemimpin yang tegas dan proaktif, sebagaimana tecermin dalam kasus friksi dengan Malaysia dalam konflik perbatasan atau masalah tenaga kerja wanita (TKW) yang disiksa, rakyat tidak menemukan pemimpin mereka sebagai patron. Para pemimpin malah sibuk menenangkan rakyatnya. Padahal, yang dibutuhkan rakyat adalah sikap tegas dan tindakan jelas dan cepat para pemimpin negeri ini demi mempertahankan kebanggaan bangsa (nationalism pride).

Hidup bersama rakyat

Panggung politik sekarang ini marak dengan politik pencitraan. Apalagi, fenomena wajar tatkala makin tinggi posisi seorang pemimpin, akan makin menjulang gengsi sosialnya. Sebelum menjadi seorang pemimpin atau tokoh, tidak perlu canggung untuk melakukan apa saja. Tetapi, begitu semakin naik ke posisi puncak, maka tata krama, perilaku, dan tutur kata pun harus diatur. Sebetulnya, perubahan sikap dan perilaku itu mengandung makna positif, terutama untuk menjaga agar seorang pemimpin tidak gegabah bertindak atau berperilaku atau berbicara.

Namun, faktor gengsi bisa bermakna sebaliknya. Seorang pemimpin yang naik gengsi bisa malah berjarak dengan rakyatnya. Ada batas, termasuk batas protokoler yang menjauhkan dia dengan rakyatnya. Barangkali kesan ”jaim” (jaga image) tak terelakkan sehingga ketika duduk bersama rakyat, tetap saja ada pembatas yang membedakan atau setidaknya secara psikologis sulit bagi rakyat untuk mendekati sekaligus berbaur bersama.

Padahal, di masyarakat modern sekarang ini, sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin adalah rakyat itu sendiri. Karena itu, wibawa dan karisma seorang pemimpin sangat bergantung pada rakyatnya. Apa yang diinginkan rakyat, itulah tindakan yang mesti diambil seorang pemimpin. Dalam konteks pemerintahan sekarang ini, suara rakyat sebesar 60 persen yang mendukung pemerintah itu sesungguhnya merupakan karisma dan kewibawaan duet pemimpin kita saat ini.

Oleh karena itu, hubungan kedekatan antara pemimpin dan rakyat tidak lagi memberikan peluang bagi pemimpin untuk mengisolasi diri, yang menjauhi masyarakatnya, demi untuk mengumpulkan kekuatan dan kewibawaannya. Kekuasaan kepemimpinan tidak seperti di masa silam yang mewujud dalam bentuk karisma dan kesaktian spiritual dalam bentuk benda keramat. Hidup bersama rakyat justru merupakan kekuatan terbesar pemimpin di masyarakat sekarang ini.

Barangkali menarik kisah kepemimpinan inspiratif dan populis pemimpin negeri ini. Misalnya, KH Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Walau seorang tokoh besar, Agus Salim selalu naik kereta api kelas tiga. Ketika ditanya, ia hanya menjawab, ”Karena tidak ada kelas empat.” Tjokroaminoto yang merupakan guru para pemimpin bangsa yang dijuluki ”Raja Jawa yang tidak bermahkota” selalu membawa tempat duduk lipat sendiri ketika bepergian karena sering tidak mendapatkan tempat duduk. Intinya, mereka memilih berada bersama rakyat, bukan di di tempat istimewa.

Menurut cendekiawan Johan Effendy, apa yang disaksikan saat ini adalah gambaran betapa kebanyakan politisi kita bukanlah tokoh publik idealis yang mempunyai integritas moral. Yang kita saksikan adalah sikap serakah yang tidak punya rasa malu. Bukankah para pemimpin sekarang ini selalu mengusung kata ”rakyat”? Tetapi, hal itu sulit mengelak dari bayang-bayang semangat politik yang Machiavellistik, yaitu demi mempertahankan kekuasaan. Rakyat butuh pemimpin jujur, dipercaya rakyat, mampu berkomunikasi dan dekat sekaligus meneladani rakyat. Kita rindu pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz yang siap melayani rakyatnya.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: