Wednesday, January 04, 2012

Bangsa Terdidik atau Tersekolah?

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang kedua dan terakhir (2003) sudah lama menyimpang dari kondisi dan aspirasi berbangsa dewasa ini. Oleh karena itu, disarankan agar filosofi yang melahirkan UU tersebut ditinjau kembali secara menyeluruh dan secepatnya

Winarno Surakhmad | Kompas | 04 Januari 2012

Pemikiran yang ramai disuarakan oleh berbagai kalangan umumnya menggambarkan keresahan dan kebingungan. Selain itu, juga mengganggu keikhlasan nurani para pendidik mengenai esensi, arah, dan peran pendidikan dalam kaitannya dengan masa depan yang manusiawi.

Sebagian besar dari kerisauan mereka terjebak dalam pandangan peran sekolah yang membuat bangsa ini sebagai bangsa yang hanya tersekolah, tetapi luput dari pemikiran membangun bangsa yang terdidik. UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) lebih banyak berbicara tentang jenis, jenjang, dan jalur sekolah sehingga UU tersebut lebih tepat disebut UU Persekolahan. UU tersebut memang lebih banyak bicara tentang jenis, jenjang, dan jalur sekolah berstandar arbitrer yang dipertaruhkan sebagai isu utama pendidikan bangsa. Sebagai UU Sisdiknas, pendekatan ini sudah tidak relevan.

Abaikan hak guru-murid

Ujian nasional sampai kini masih tidak memedulikan hak asasi guru untuk menentukan kelulusan. Mewajibkan anak bangsa untuk belajar di sekolah selama 9 atau 12 tahun (wajib belajar atau wajib sekolah?) lebih banyak dikelola secara administratif dan tidak berpeluang memaknai perkembangan kepribadian anak sepanjang hayat, dari lahir sampai ajal tiba.

Perbaikan mutu guru dan tambahan honorarium terutama hanya ditentukan oleh sejenis sertifikasi dan referensi pengalaman guru yang sebenarnya tidak langsung bersangkut-paut dengan kebermaknaan hidup bangsa masa depan.

Profesionalisasi guru memang mulai dibicarakan di tingkat pemerintah, tetapi sedikit pun tidak ada konsep lebih dalam yang memasalahkan profesionalisasi pendidikan secara menyeluruh. Apakah perbaikan mutu guru sudah sama dengan perbaikan mutu pendidikan? Tentu belum dan tentu tidak!

Diingatkan juga, sekarang ada kebijakan pemerintah membuat masyarakat yang agak berduit berselera, bahkan bisa sampai meneteskan air liur karena percaya seakan-akan sekolah bertaraf internasional jadi jaminan perbaikan mutu pendidikan nasional. Akan tetapi, mereka gagal memperhitungkan realitas yang pahit bahwa sekolah semacam itu sekarang hanya bertarif (bukan bertaraf!) internasional.

Sekadar mengingatkan, di negeri ini tidak akan pernah ada orang yang disebut Menteri Pendidikan Internasional, dan diramalkan bahwa tidak bakalan pernah ada Universitas Internasional. UU yang kita butuhkan adalah UU pendidikan untuk kepentingan satu bangsa besar dengan masalah yang sangat unik.

Lebih lanjut, janganlah kita lupa, sekitar 500 daerah otonom yang sudah lahir sekarang, sebagai akibat ”pemekaran”, tak satu pun yang secara eksplisit dimekarkan dan mengutamakan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi. Yang jelas, ada orang berduit yang mati-matian ingin jadi kepala daerah. Tak peduli apa pun alasannya. Ribuan guru daerah (mereka semua adalah guru nasional), yang kebetulan bukan bagian integral dari tim sukses kepala daerah, kini merasa sangat kecewa dan ingin kembali jadi bagian dari kekuatan sentral, lepas dari kelola kepala daerah.

Bagaimana seharusnya kita merumuskan kebijakan pendidikan tentang penerapan konsep Bhinneka Tunggal Ika? Bisakah kita membenarkan bahwa adalah hak asasi suku Dayak, misalnya, untuk 100 persen menjadi suku Dayak, dan pada saat yang sama, adalah kewajiban asasi suku Dayak tersebut untuk 100 persen pula menjadi bangsa Indonesia?

Bagaimana pula kita kembangkan nilai Pancasila sebagai inti untuk mempertahankan NKRI? Bagaimana secara pedagogis kita harus menghadapi jiwa Sumpah Pemuda yang di satu pihak mulai retak, di lain pihak secara pedagogis bertahan pada filosofi bahwa NKRI adalah harga mati. Kalau sudah sampai pada inti ideologi, kita seperti sering lupa sejarah bahwa sejelek-jelek sebuah ideologi, lebih jelek lagi apabila kita harus hidup tanpa ideologi sama sekali.

Lalu? Merujuk UU Sisdiknas, apakah arti dan peran sekolah dalam konteks berbangsa? Mari kita simpulkan dengan tujuan apa anak bangsa disekolahkan. Apakah agar ditemukan dan kemudian ditentukan oleh sekolah bahwa ia tergolong murid yang pada dasarnya memang anak bodoh atau pada dasarnya anak pintar; tergolong anak berketurunan malas atau rajin; tergolong anak yang bisa diharapkan atau tidak; ataukah agar anak bangsa, dengan kerja sama guru, mampu menemukan potensi dirinya?

Apakah dia, bersama orangtua, guru, dan teman-temannya—di sekolah atau tidak—belajar menjadi pembelajar seumur hidup. Ataukah lebih baik apabila anak bangsa menyerahkan diri secara pasif pada apa yang menjadi stipulasi kurikulum yang tersedia? Apakah di sekolah dia diajar untuk menghafal, ataukah dia belajar untuk bebas berpikir kreatif, sebagai khalifah dan sebagai bagian dari kesatuan bangsa?

Dulu, anak bangsa yang ”dididik” di sekolah disebut murid, kemudian murid berubah menjadi anak didik, lalu sekarang menjadi peserta didik. Di sekolah sekarang, peserta didik itu disuguhi aturan serba berstandar. Ada berbagai jenis standar yang ditetapkan secara arbitrer, tetapi yang masa berlakunya tidak bisa ditentukan. Macam-macam saja republik ini; tidak jelas apa maunya! Quo vadis pendidikan nasional Indonesia?

Takut berinisiatif

Singkat kata, untuk menghadapi perjuangan ke masa depan, bangsa tersekolah ini sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Bangsa yang karena UU pendidikannya sudah kedaluwarsa tetapi karena alasan politis tetap digiring hidup sebagai anak bangsa yang tersekolah umumnya—apalagi kalau dipaksa-paksakan—untuk sementara mungkin masih dapat ”berhasil” menurut standar yang sudah ditentukan. Dalam waktu singkat mungkin masih akan bergaya dalam soal hafal-menghafal, tetapi tak pernah dapat diperhitungkan dalam soal-soal yang memerlukan inovasi dan kreativitas.

Bangsa yang semata-mata tersekolah adalah bangsa yang bukan saja tidak pernah bisa, tetapi juga selalu takut berinisiatif dan berkreasi! Bangsa ini secara pasif hanya mengikuti satu garis sejarah kehancuran, kepunahan, dan kematian yang sangat menyedihkan. Mereka, cepat atau lambat, akan musnah sebelum menyadarinya.

UU ketersekolahan yang mengutamakan peran dan potensi anak bangsa, terutama sebagai juru hafal melalui latihan- latihan yang ditangani guru-guru pelaksana program kurikuler yang usang, hanya mempercepat proses kepunahan bangsa ini. Kita tidak mungkin memercayakan anak bangsa kepada siapa pun juga yang tidak punya keberanian untuk berpikir.

Hanya guru dan lingkungannya yang mampu dan menghargai berpikir kreatif yang berhak untuk mengajak bangsa ini berpikir sebagai satu bangsa. Dan, ini sebuah perjuangan.

Winarno Surakhmad Komunitas Studi Pendidikan
Copyright © 2012 Kompas Digital

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Luthfi MH said...

memang ada beberapa pihak yang menginginkan urusan pendidikan disederhanakan menjadi urusan sekolah. bahkan termasuk apa yang disebut "guru". banyak guru yang malah tidak mendidik, dengan memberi hukuman dengan kekerasan, berlaku tidak senonoh terhadap muridnya, dsb. maka istilah guru juga mestinya direvitalisasi. guru dalam pendidikan era modern sekarang bukan lagi sebagai sumber utama atau satu-satunya person yang legitim dalam kehidupan keilmuan seseorang. sebaliknya, guru harus jadi jalan seseorang untuk mengerti dan berpikir lebih daripada tingkat pemikirannya sekarang. peran pendidikan sekarang harusnya lebih daripada mengurusi masalah administrasi. bahkan pemerintah harus menegaskan kembali perannya sebagai pencerdas kehidupan berbangsa dengan meningkatkan diskusi-diskusi terbuka dalam ruang publik sehingga membangun kritisisme masyarakat. sungguh menjadi pembelajar seumur hidup lebih layak daripada hanya menyandang gelar dari sekolah formal