Monday, January 02, 2012

Krisis di Lumbung Energi

Indonesia tengah dilanda lapar energi. Permintaan energi terus melonjak, bahkan cenderung tidak terkendali. Sementara itu, pasokan energi masih terbatas di tengah ketidakberesan dalam tata kelola sumber energi nasional

Evy Rachmawati | Kompas | 02 Januari 2012

Masyarakat menggunakan lebih banyak energi karena industrialisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Makin banyak warga menggunakan energi untuk kegiatan rumah tangga dan transportasi. Para pelaku industri juga mengonsumsi kian banyak energi untuk menggenjot produksi.

Pasokan energi yang mapan dan berkelanjutan merupakan syarat utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo, beberapa waktu lalu, mengakui, ada anggapan keliru bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak, padahal sebaliknya. Kita justru lebih banyak memiliki energi lain, seperti batubara, gas, gas metana batubara, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati.

Paradigma keliru lain adalah harga bahan bakar minyak (BBM) harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal itu berdampak pada terkurasnya anggaran pemerintah untuk subsidi harga BBM, ketergantungan kita kepada BBM, volume impor minyak mentah dan BBM makin besar, dan energi lain makin sulit berkembang.

Padahal, berdasarkan data potensi energi nasional tahun 2010 yang diterbitkan Kementerian ESDM terlihat, cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 miliar barrel. Sementara itu, cadangan terbukti energi fosil nonminyak lebih banyak, di antaranya gas bumi 112,4 miliar triliun standar kaki kubik dan batubara 5,5 miliar ton.

Untuk energi nonfosil, potensi tenaga air 75.670 megawatt (MW), sedangkan kapasitas terpasang baru 5.705,29 MW. Untuk panas bumi, dari sumber daya 29.038 MW, kapasitas terpasang baru 1.189 MW. Potensi biomassa 49.810 MW, tetapi kapasitas terpasang hanya 1.618,4 MW.

Produksi minyak turun

Produksi minyak nasional memasuki masa suram. Dari tahun ke tahun, produksi minyak nasional turun hingga di bawah 1 juta barrel per hari. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas menyebutkan, realisasi produksi minyak tahun ini 903.441 barrel per hari, di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011 yang sebesar 945.000 barrel per hari. Realisasi produksi ini juga turun dibandingkan dengan tahun 2010 yang sebesar 944.898 barrel per hari.

Hal ini seiring dengan laju penurunan produksi secara alamiah di sumur-sumur minyak yang tua. Sementara tren investasi eksplorasi untuk mendapat cadangan migas menurun dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, cadangan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia banyak berada di laut dalam, dengan tingkat risiko kegagalan tinggi dan biaya investasi sangat besar.

Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan migas hanya terfokus pada upaya mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada. Untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas, pemerintah semestinya mendorong peningkatan investasi dengan memberi insentif dan sistem fiskal yang menarik serta peningkatan mutu data blok migas yang ditawarkan.

Sejauh ini, ada sejumlah persoalan yang muncul di daerah operasi, antara lain, pembebasan lahan serta rumitnya proses perizinan dan birokrasi. Kendala lain adalah tumpang tindih aturan migas dengan sektor lain juga, misalnya wilayah kerja migas berada di kawasan hutan lindung.

Tantangan lain adalah dominasi asing dalam penguasaan sumber daya migas. Porsi nasional dalam pengelolaan blok-blok migas baru 25 persen. Oleh karena itu, pemerintah mesti mengutamakan perusahaan nasional dalam pengelolaan blok-blok migas yang habis masa kontraknya dengan mempertimbangkan kemampuan teknis, keuangan, dan program kerja.

Energi alternatif

Di tengah penurunan produksi dan cadangan minyak serta kenaikan harga minyak mentah, sudah saatnya Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Hal ini untuk menekan subsidi energi agar negara bisa mengalihkan anggaran subsidi untuk infrastruktur energi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemanfaatan gas metana batubara dan bahan bakar gas jadi alternatif utama. Apalagi cadangan terbukti gas empat kali cadangan minyak. Harga gas juga jauh lebih murah dibandingkan dengan minyak. Jika harga BBM Rp 8.000 per liter dan pemakaian BBM untuk transportasi digantikan bahan bakar gas (BBG) seharga Rp 4.000 liter setara premium, hal itu akan menghemat Rp 4.000 per liter.

Namun, gas banyak diekspor karena harga domestik tidak menarik dan ketidaksiapan infrastruktur gas. Agar gas bisa dimanfaatkan untuk listrik, transportasi, rumah tangga, dan industri dalam negeri, pemerintah mesti merenegosiasi kontrak ekspor gas yang merugikan negara, mendorong harga gas domestik sesuai keekonomian, dan mempercepat penyediaan infrastruktur gas, termasuk terminal penerima gas.

Pemerintah juga mesti mulai beralih ke energi baru terbarukan. Dengan potensi tenaga air, tenaga surya, dan bahan bakar nabati yang melimpah, pemerintah semestinya berpihak terhadap pemanfaatan energi baru terbarukan lewat regulasi yang mendukung, di antaranya pemberian insentif dan penetapan harga yang menarik bagi produsen.

Organisasi Energi Keberlanjutan Internasional memaparkan, biaya energi terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan arus laut akan turun di masa depan. Adapun biaya energi tak terbarukan, seperti minyak, gas, batubara, dan nuklir, akan naik di masa depan. Jadi, pemanfaatan energi baru terbarukan tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga dapat memangkas subsidi energi.

Copyright © 2012 Kompas Digital

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: