Saturday, February 11, 2012

Indonesia Menuju …. 2014

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2020 cuma sekedar dokumen. Lembaga negara yang resmi berkewenangan melakukan perencanaan, BAPPENAS, tidak lebih dari sekedar pos jaga di etalase penyelenggaraan negara. Demikian halnya dengan Kementrian Keuangan, sekedar kasir uang keluar etalase yang sama. Seluruh perencanaan dan transaksi penyelenggaraan negara dilakukan di dua panggung berbeda: Partai politik dan jejaring penguasa kapital finansial

Awicaks

Kasus-kasus korupsi yang mengemuka, Bank Century, cek pelawat Miranda Gultom, Gayus Tambunan, Nazarudin dan Partai Demokrat, Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan lainnya, yang menghiasi tajuk beberapa koran arus-utama pun tidak lebih adalah bagian dari etalase tersebut. Kasus-kasus itu adalah eksternalitas dan kebocoran yang diselesaikan secara adat lewat rembugan kedua panggung tersebut, dengan tujuan menenangkan khalayak luas, dan meyakinkan bahwa penyelenggaraan negeri ini baik-baik saja.

Khalayak luas tidak sebodoh yang dianggap oleh para elit kedua panggung tersebut. Nafsu berkuasa di negeri ini menjijikkan sekaligus menggelikan. Menjijikkan karena dipertontonkan kepada khalayak dengan asumsi bahwa mereka lebih pintar dari kita semua, warga kebanyakan, serta tidak malu-malu menunjukkan keserakahan mereka. Menggelikan karena mereka menampilkan badut-badut rakus perhatian publik, terutama yang kerap tampil, menampilkan diri dan ditampilkan di media-media massa. Yang lebih menggelikan, sebagian besar badut tersebut berasal dari satu pertai yang sama: Partai penguasa eksekutif dan legislatif.

Persengkokolan yang paling masuk akal dan tidak butuh kecerdasan (no brainer) untuk menganalisisnya adalah transaksi penggalangan dana menuju 2014. Kasak-kusuk anggaran di DPR, jual-beli perijinan usaha di sektor kehutanan, pertanian dan perkebunan, tambang mineral serta energi, jual-beli pelepasan lahan, dan bahkan termasuk mengutil pembiayaan perbudakan kolosal berupa ekspor buruh migran, merupakan modalitas yang sangat kasat. Persengkokolan itu juga mencakup arena hukum dan pengadilan. Sebuah arena yang memainkan peran penting di etalase penyelenggaraan negara.

Komisi-komisi ad-hoc, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), dan komisi lainnya tidak lebih dari sekedar lapis pemanis (sugar-coating) etalase penyelenggaraan oleh rejim SBY-Boediono. Kechadiran komisi-komisi tersebut, tanpa perlu mempertimbangkan kualitasnya, sudah memadai bagi lembaga-lembaga keuangan internasional untuk memberi peringkat baik bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan pembiayaan dan pinjaman. Kehadiran komisi-komisi tersebut pun penting sebagai tolok-ukur pada perhelatan akbar 2014 nanti.

Etalase penyelenggaraan negara diramaikan pula oleh maraknya industri demokrasi, yang ditunjukkan dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan jasa konsultasi politik pemilihan umum. Khalayak dibanjiri oleh propaganda konsisten tentang pentingnya bungkusan ketimbang isinya. Industri demokrasi bolehjadi menjadi pihak yang menerima durian runtuh menjelang perhelatan akbar 2014 tersebut.

Memboikot perhelatan akbar 2014 agaknya satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa rakyat dapat lebih berkuasa ketimbang badut-badut politik dari partai-partai politik besar.  Cukup sudah rakyat menyubsidi pengurus negara: Membayar pajak, menyingkir di jalan umum ketika rombongan kendaraan roda-empat presiden dan menteri lewat, menanggung beban dampak akibat sarana dan prasana umum yang rusak dan tidak dirawat, dan seterusnya. Aksi buruh di Bekasi mungkin tidak segagah gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat, namun seharusnya mampu menumbuhkan dan menyuburkan kepercayaan diri kita bahwa pengurus dan penyelenggara negara mesti patuh kepada warga negara. Bukan sebaliknya.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: