Tuesday, February 28, 2012

Menyangkal, menyangka, menyang-menyangan (a la Cinta Laura)

“Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!” “Tidak!”

Awicaks

menyangkal

Awalnya saya curiga mbakyu Enjie (mencoba menampilkannya dalam lafal Bahasa Indonesia, seperti halnya Oom Tukul; mohon jangan curiga saya sengaja nyerempet ke kata yang mirip yang konotasinya menghina; saya pastikan; TIDAK!) sudah berlatih berminggu-minggu untuk konsisten berkata tidak di depan sidang pengadilan yang angker. Karena saudara-saudara, tidak mudah untuk konsisten dengan satu jawaban, terlepas benar atau salah yang Anda sampaikan. Keangkeran pengadilan Indonesia yang senantiasa condong membela yang berkuasa dan berpunya bisa bikin lidah macet.

Kemudian semua terjelaskan ketika ada bung Effendi Gazali, yang notebene adalah mantan dosen pembimbing mbakyu Enjie di Pasca-sarjana Universitas Indonesia jurusan komunikasi, menerangkan kepada kita semua bahwa mbakyune itu cerdas, pintar, dan sangat berbakat dalam komunikasi. Saya tidak terburu-buru menilai pernyataan tersebut. Bisa jadi itu sebuah pujian ikhlas dari seorang pengajar kepada mahasiswanya. Tetapi bisa jadi itu adalah kode yang dilontarkan bung Effendi ke ruang publik secara halus, yang tafsir bebasnya kira-kira: “Hooy!! Hati-hati! Dia pelakon ulung!!”

Coba bandingkan dengan sidang kesaksian kang (saya tidak rela menyebutnya dengan ‘Gus’) Muhaimin Iskandar, untuk kasus Kemenakertrans. Cecaran pertanyaan hakim dan jaksa sempat bikin beliau keder. Parahnya, beliau tidak punya dosen pembimbing yang memberi komentar. Bahkan publik (tentu saja diwakili kalangan media) langsung menghakimi beliau berbohong dalam kesaksiannya.

Menyangkal adalah hak asasi setiap orang, terlepas dia benar atau salah. Tetapi menyangka atau berasumsi juga boleh-boleh saja. Tinggal bagaimana proses pembuktian yang beralas akal sehat dan kecerdasarn yang mampu membuktikan mana yang (lebih) benar. Tetapi problemnya di Indonesia ini, kalau sudah masuk ke ruang publik mereka yang berkuasa dan berpunya sudah pasti tidak akan pernah mau mengakui kesalahan mereka. Mereka cenderung ingin menang sendiri. Atau, menurut Cinta Laura, menyang-menyangan.

Rakyat Indonesia mestinya merasa bangga dan bahagia memperoleh tontonan perangsang-otak gratis menyang-menyangan baik pada kasus Wisma Atlet, kasus Hambalang maupun kasus Kemenakertrans, yang membuat dahi kita berkerut dan membuat kita berdebat dengan kolega di kantor, atau sekedar kawan di warung kopi. Dan itu membuat otak kita terasah. Pertanyaannya, apa yang terjadi apabila pertanyaan-pertanyaan di sidang pengadilan bukan cuma ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi dilengkapi juga dengan pilihan berganda? Mampukah mbakyu Enjie bertahan? Sementara menurut saya kang Muhaimin sudah pasti kedodoran…. 

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: