Dalam perjalanan pulang dari kantor sopir dari taksi yang saya tumpangi mengomentari demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM, yang jauh hari sudah digembar-gemborkan berpotensi chaos (bahkan ditengarai ditunggangi para pengaju proposal kudeta), “Hebat pawang hujannya SBY ya, Pak?” Pawang hujan?
Awicaksono
Kenapa pawang hujan, tanya saya penuh keheranan dengan komentar sopir paruh baya itu. Memang demonstrasi menolak kenaikan harga BBM tanggal 27 Maret kemarin tidak seheboh yang diramalkan. Bahkan langit mendung, cenderung gelap, menggantung disertai hujan rintik-rintik di atas bagian pusat Jakarta, sepanjang sore.
“Lah iya dong, Pak. Daripada dia melanggar HAM, mengerahkan tentara, yang selalu beringas menghadapi massa, meski cuma anak-anak ingusan, dia pasti memilih menyewa pawang hujan paling jagoan untuk meredam demonstrasi yang sudah bikin dia kebat-kebit sepanjang dua minggu menjelang Sidang Paripurna DPR. Coba lihat, lalu-lintas lancar kan?,” Jawab pak sopir dengan tangkas.
“Ah, apa iya, Pak? Masak pawang hujan?” Saya penasaran menanti argumen berikutnya dari sopir taksi ini.
“Pak, saya bilangin ya. Selama presiden kita itu orang Jawa, dia ndak akan pernah ndak pakai jasa klenik. Pasti itu….” Dia berkeyakinan bahwa mulai dari Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, Megawati, dan sekarang SBY, semua bergantung kepada kekuatan supranatural. Karena, tambahnya, tidak akan ada manusia super yang mampu mengurus negara seluas Indonesia, apalagi negara kepulauan, tanpa bantuan kekuatan supranatural. “Mau ngandalkan tentara, nanti melanggar HAM. Wong tentara itu kan semestinya berperang dan berkelahi melawan musuh asing, lah kita punya malah lebih banyak perang lawan rakyat sendiri….”
Saya tersenyum karena pak sopir ini terlupa menyebut satu nama. “Lho kalau B.J. Habibie bagaimana, Pak?”
“Dia kan separuh Jawa, separuh Sulawesi. Mungkin dia pakai juga jasa klenik, Pak. Tetapi dia kan cuma transisi, bukan presiden yang beneran macam Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, Bu Mega, dan SBY,” sanggahnya. “Makanya dia kan ndak lama. Mencalonkan diri pun juga ndak bisa tembus.”
Memang selentingan dan kasak-kusuk tentang ketergantungan para presiden Indonesia terhadap jasa klenik atau paranormal banyak dibicarakan sejak lama. Tetapi akrobat politik juga agak mirip dengan kecakapan sulap yang dipakai untuk menciptakan ilusi yang mampu mencengangkan penonton. Mungkin bukan para ahli klenik yang dibutuhkan, tetapi para ahli siasat politik, alias perancang pertunjukkan sulap politik. Bagaimana memanfaatkan media massa, bagaimana mengalihkan perhatian publik, bagaimana mendongkrak popularitas, dan seterusnya. Saya sanggah pendapat pak sopir itu dengan argumen saya barusan.
“Lain, Pak. Taktik-taktik politik orang Indonesia sih gampang terbaca, Pak. Macam menonton sinetron di televisi. Jalan cerita dan ujungnya mudah ditebak,” Tangkas dia menjawab. “Dan jangan salah ya Pak, rakyat, macam saya ini, bukan orang goblok, lho. Kami paham kok mana pendapat bohong, mana omongan sampah. Kayak si Batoegana itu. Atau si Ruhut itu. Dia itu kan punawakannya Partai Demokrat. Memang dipasang untuk menghibur dan omongan-omongan yang ndak jelas dan bikin kami sering tertawa.”
Tetapi SBY kan orang terpelajar. Demikian halnya dengan Boediono. Dua-duanya punya gelar Doktor. Kalau membuat keputusan selalu penuh perhitungan, bahkan membuat pasangan itu dikecam terlalu lama dalam membuat keputusan, sanggah saya.
Pak sopir itu cepat menyambar omongan saya, “Mohon maaf ya Pak. Pak SBY boleh jadi orang yang cerdas. Tetapi dengan kesibukan sebagai menteri pada masa Gus Dur dan Bu Mega, apa iya dia sempat belajar dengan benar sebagai mahasiswa untuk dapat gelar Doktor? Masak sih Bapak ndak ngerti bahwa dia punya tim yang membantu studi dia itu. Kan di koran-koran sudah diberitakan kalau orang-orang di tim itu yang kemudian selalu menjadi tim sukses SBY.” Dengan mengandalkan rujukan dari pemberitaan koran, entah koran apa yang pak sopir ini baca, dia menegaskan bahwa gelar-gelar sarjana dan gelar pasca-sarjana sudah sangat murah. Dia berkeyakinan bahwa hampir semua politikus, baik yang duduk sebagai menteri dan anggota DPR, membeli gelar-gelar itu untuk mendongkrak citra diri untuk kepentingan pemilihan umum.
“Mungkin SBY dan Boediono memang bikin perhitungan yang njelimet untuk ambil keputusan. Tetapi mereka kan butuh second opinion, kayak kita kalau periksa ke dokter. Saya aja kalau periksa dengan dokter di klinik pool taksi pasti saya periksa lagi ke puskesmas dekat rumah. Nah, di situ saya yakin mereka berdua butuh para ahli klenik,” Saya tersenyum dengan keteguhan pendapat pak sopir taksi ini.
Tanpa sadar taksi sudah mendekati rumah saya. Perjalanan yang panjang tanpa sadar menjadi terasa cepat. Saya benar-benar jatuh hati pada sopir taksi ini. Pendapatnya tidak bodoh. Terlepas dari betul atau salah, argumen-argumennya sungguh mencengangkan.
“Oke, Pak. Mudah-mudahan kita ketemu lagi. Asyik ngobrol dengan Bapak,” Dia pun mengucap terima kasih dan juga menyampaikan harapan yang sama.
No comments:
Post a Comment