Sunday, September 16, 2012

Tak Perlu Makam

Tiga minggu yang lalu, saya berbicara di dalam kolom ini tentang rasionalitas, yang kala itu saya katakan tengah meluas di dalam pemerintahan sekarang, bahkan hingga ke dalam cara mengelola ”memori” Peristiwa 1965-1966

Jean Couteau | Kompas Minggu | 16 September 2012

Mungkin karena dibutakan oleh optimisme, saya tidak menduga bahwa rasionalitas dapat pula mengambil bentuk ”absurd”. Puncak tertinggi rasionalitas absurd saya dengar baru-baru ini di dalam suatu diskusi tentang krisis di Sampang, Madura. Menurut salah satu hadirin, seorang tokoh masyarakat, untuk mengatasi masalah konflik di Sampang, jalan terbaik ialah bila para pengikut aliran Syiah yang konon sesat ini beralih menjadi Sunni.

Hore! Saya tidak tahu pasti apakah tokoh itu sudah bergelar Phd alias Pantang Hadir Dungu, tetapi logika pernyataannya memang tak terbantahkan. Apalagi, pemahamannya mempunyai sejarah yang panjang—seribu tahun lebih: tak sedikit bulla-bulla para Paus dan fatwa para ulama zaman dahulu menganjurkan penyelesaian yang sama: ”pindah agama, lupakanlah ajaran sesat, dan bagi kau terbukalah pintu surga”. Tak diragukan bahwa produk budaya dari sikap ini adalah cemerlang; terbukti pada indahnya Makam Saladin di Damaskus dan Makam Richard Lionheart di Fontevraud, Perancis. Tetapi di luar ranah budaya, hasilnya tak seindah itu, dilihat dari jenazah dalam jumlah tak terhitung banyaknya yang kala itu dibiarkan membusuk tanpa makam megah di segala pelosok Tanah Suci. Bahkan, bila arwah-arwah para pejuang Perang Salib dapat saja dipanggil dari ketinggian surga mereka dan diajak berbicara, saya berani bertaruh bahwa, makam atau tidak, mereka semua akan mengecam kedunguan mereka sendiri yang membuat mereka telah bersedia menjadi pahlawan yang konon ”suci” itu.

Kita memang mestinya belajar dari sejarah dan waswas terhadap segala seruan penuh semangat ”baik” atau ”alim” yang secara tak terduga dapat berakibat buruk bagi orang banyak. Sejatinya, di dalam setiap kelompok religius atau ideologis, formalisme tafsiran berpotensi menciptakan sekat-sekat antarkelompok yang, bila tidak dikelola dengan baik, dapat bermuara pada konflik. Bahkan, itu pun dapat terjadi di negara paling sekuler pun seperti Perancis, di mana, alih-alih menjadi penengah antar-agama yang netral, sekularisme menjadi suatu ideologi kaku yang cenderung me-liyan-kan para penganut agama, terutama Islam, yang anggota mana kini dikenakan pelarangan memakai hijab di ruang publik. Dari sarana proteksi, sekularisme disulap menjadi ajang dan sarana diskriminasi.

Kalau di Indonesia, selain berbahaya, formalisme tafsiran sesungguhnya bertentangan dengan asas kultural dari sebagian besar masyarakat Indonesia. ”Ngono yo ngono, ngona-ngono ning ono ojo ngono,” (Begitu ya begitu, begita-begitu, tapi mbok ya jangan begitu), kata ungkapan Jawa yang terkenal. Tetapi, perihal non-formalisme dan toleransi, saya lebih suka mengacu pada tanggapan seorang penari Bali beberapa puluh tahun yang lalu di Desa Keramas: ”Anda adalah seorang Kristen?” katanya kala itu, ”Tetapi bukankah kita semua sama? Bukankah kita semua pengikut agama air.” Melihat kebingungan saya, dia meneruskan: ”Air membersihkan, dan pada air itu secara simbolis kami di Bali asosiasikan nama Wisnu, manifestasi protektif dari Hyang Widhi (Tuhan). Di dalam cerita Mahabharata, Wisnu konon menjelma menjadi Krisna. Ya Krisna! Perhatikan nama itu: Kris-na, bukankah itu mirip dengan Kris-tus. Jadi bukankah kita semua beragama air. Agama pembersihan.” Saya tertegun mendengarnya. Apalagi dia meneruskan dengan senyuman yang lebar: ”Demikian pula saudara kita yang Islam, mereka pun beragama air, kita semua sejatinya menjadikan agama sebagai sarana pembersihan.” Saya diam. Terharu!

Sudah jelas bahwa baik dari sudut pengetahuan maupun dari sudut teologis, teman saya di atas adalah ”salah”. Tetapi dari sudut sikap, dan spiritualitas yang sebenarnya, saya tidak ragu; dia pasti benar: daripada menekankan perbedaan antara keyakinan-keyakinan, yang ditekankannya adalah persamaan. Dan bila tidak ditemukan persamaan itu, diciptakan persamaan yang imajiner. Indah, kan?

Apakah kearifan tradisional Indonesia seperti itu pantas dipertahankan? Tentu saja! Meskipun ini bukan tanpa kendala. Modernisasi berarti, di dalam ranah intelektual, penguatan kategori. Dan, penguatan kategori itu menimbulkan, di dalam ranah sosial, penguatan sekat-sekat identiter, yang mana pada gilirannya cenderung bermuara pada formalisme ortodoksi, yang dapat berakhir, pada ujungnya, bila kita tidak waswas, dengan pembangunan makam-makam agung seperti di Damaskus dan Fontevraud. Kita inginkan hal itu?

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: