Sunday, October 14, 2012

Elektabilitas Popularitas Absurditas

Bakrie tidak ada matinya! Pemberitaan tentang kasus-kasus keuangan kelas kakap yang melibatkan perusahaan keluarga Bakrie terselamatkan oleh pertikaian KPK vs. Polri. Gonjang-ganjing tentang kemungkinan bangkrutnya kerajaan bisnis Bakrie juga terselamatkan oleh sikap tunda SBY bersikap tegas menuntaskan pertikaian KPK vs. Polri. Dua minggu cukup untuk konsolidasi sebelum muncul kembali di ruang publik menampilkan kepercayaan dirinya mencalonkan diri menjadi Kandidat Presiden pada pemilihan 2014. Luar biasa!

Awicaksono

"Kita semua harus berjuang untuk meningkatkan elektabilitas!" Sebuah pernyataan yang menurut saya kurang ajar dan tidak beradab dari sang calon kandidat, yang kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan tak empatik dan tak simpatik terhadap status keselamatan warga yang senantiasa dirundung masalah. Masih ingat pernyataannya ketika ia menjabat sebagai Menko Kesra terhadap para korban banjir? "Ah, mereka tertawa-tawa tuh ketika disorot kamera televisi…." Atau, ketika mengomentari tentang bentuk protes para korban Lumpur Lapindo berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta, "Capek dong…." Baginya, ini semua tentang elektabilitas!

Apakah kita menginginkan seorang pemimpin seperti itu? Jadi tidak usah heran ketika Wakil Sekjen Partai Golkar, Ricky Rachmadi, mengatakan bahwa Bakrie membutuhkan sosok calon kandidat wakil persiden yang pro-rakyat. Ini sebuah pengakuan resmi, yang secara terang benderang menunjukkan bahwa Bakrie adalah orang yang tidak pro-rakyat. Sehingga ia membutuhkan sosok pendamping yang akan melengkapi kekurangannya. Inilah yang harus dipermasalahkan secara terbuka pada skala nasional.

Belajar dari kemenangan akal sehat rakyat pada Pemilukada DKI serta kemenangan rasa muak rakyat atas perilaku koruptif yang sistemik dari pejabat publik pada pertikaian KPK vs. Polri, sekali lagi energi anti-status quo harus kembali dinyalakan. Jangan terlalu berharap pada kode etik pers yang mengutamakan keseimbangan pendapat, karena semua pendapat dari lingkar dalam Partai Golkar, yang menikmati gula-gula kekuasaan dan finansial, sudah pasti akan membela habis-habisan dengan segala argumen. Yang harus dicermati, kedudukan Partai Golkar dan Bakrie di ruang publik terselamatkan oleh kebobrokan Partai Demokrat beserta lingkar dalam presiden. Bukan dalam artian mereka tampil lebih baik, tetapi dengan hanya berdiam saja mereka akan luput dari radar skandal skala nasional.

Kita berhadapan pada situasi, tidak ada satu pilihan pun yang memadai. Kita sudah mengalami bagaimana kekacauan dipimpin oleh Megawati. Kita pun sudah mengalami bagaimana seorang Prabowo memegang kekuasaan, meski pada lingkup terbatas di jajaran militer. Lebih parah lagi, logika kita dipaksa untuk segera mencari calon kandidat alternatif, tanpa mendorong urjensi terhadap kebutuhan kritik keras terhadap sistem demokrasi padat modal yang begitu rapih mengarak karnaval demokrasi prosedural yang berangkat dari gaya kehumasan kafe dan iklan produk konsumsi. Kita pun melupakan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden, sepanjang paradigma ekonomi-politik yang diusung masih tidak beranjak dari sikap menghamba kepada elit-elit dunia penguasa kapital finansial, serta tidak mendahulukan status keselamatan warga yang terus mengalami kemerosotan, negeri ini tidak akan pernah lepas dirundung masalah. Presiden bukan solusi. Tetapi memilih orang yang salah akan memperburuk situasi. Satu keputusan bersama untuk mengendalikan kerusakan agar tidak meluas (damage control) mesti direnungkan dan dipikirkan bersama.

Kita telah belajar bahwa solusi bagi rakyat tidak diambil di ruangan-ruangan berpendingin di kantor-kantor negara atau di kantor angkuh DPR. Dia juga tidak dapat ditemukan di rapat-rapat redaksi media-media nasional yang tidak lepas dari tali-temali hubungan pengaruh dan pembiayaan dengan para elit penguasa politik dan finansial. Pada era teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian canggih saat ini ruang-ruang tersebut jadi tidak relevan. Pengerahan energi gelisah warga kebanyakan hanya diperhitungkan sebagai faktor negatif bagi elektabilitas dan popularitas para elit. Hanya itu yang mereka pedulikan. Bahkan pernyataan publik SBY terhadap pertikaian KPK vs. Polri sudah jelas berangkat dari usaha menghindari kemerosotan popularitasnya. Inilah pelajaran terpenting yang mesti menjadi pertimbangan mendalam untuk menggalang dan mengerahkan energi warga kebanyakan menyatakan sikapnya.

Negeri kita mungkin akan berakhir menjadi seperti Libya atau Irak, ketika energi perlawanan warga berbenturan dengan para elit global penguasa politik dan kapital finansial yang selama ini mengendalikan hasrat kekuasaan politik elit negeri ini. Operasi-operasi intelijen negara-negara adidaya akan memecah belah perlawanan warga lewat berbagai siasat, dari yang paling halus dan canggih hingga yang paling kasar sekali pun. Jika pun kita membutuhkan sosok seperti Julian Assange, yang berani pasang badan membongkar persengkongkolan jahat di balik pintu tertutup elit-elit global dan elit-elit nasional, mereka pun akan bergerak lebih cepat dan lebih kasar untuk menghindari gelombang perlawanan massif warga kebanyakan. Ini adalah skenario terburuk yang bukan tidak mungkin terjadi. Tetapi yang jelas, kemapanan para elit, yang sesungguhnya hanya gerombolan orang bodoh tetapi rakus kuasa, harus dipaksa bertekuk lutut kepada tuntutan warga kebanyakan. Tidak ada pesta yang tidak ada akhirnya. Semua pesta pasti ada akhir. Demikian juga dengan bancakan kekuasaan dan kapital finansial yang selama sepuluh tahun terakhir dinikmati oleh elit-elit dari kelompok yang sama di negeri amburadul ini.

Bakrie (dan Bakrie-Bakrie lainnya) boleh saja disebut 'tidak ada matinya', tetapi ia berdiri gagah dengan kepongahan yang meremehkan kecerdasan warga kebanyakan. Energi warga kebanyakan justru yang tidak pernah padam. Dia bisa tampil meriah dan menyenangkan, tetapi bukan tidak mungkin akan tampil bengis, tak-teramalkan dan tak-terkendalikan.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: