Thursday, October 11, 2012

Lupa Citra Tunda Lega

Sudah bolehkah kita bernafas lega dengan pernyataan (baca: bukan keputusan atau perintah) SBY yang disampaikan pada Senin malam, 8 Oktober 2012, tentang kisruh KPK dan Polri? Dari perspektif konsolidasi tuntutan yang terus mengkristal pernyataan SBY tidak akan berhasil menjadi titik balik kepercayaan publik. Faktor-tunda akan menjadi ciri khas SBY yang melekat di memori publik.

Awicaksono

Banyak pihak menilai pernyataan publik SBY pada 8 Oktober malam itu tetap tidak tegas. Isu-isu kunci terkait pertikaian Polri-KPK yang disampaikan SBY yang dibuka dengan frasa, “Menurut pendapat saya ….” memang dapat ditafsir sebagai kebijakan SBY dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan negara. Namun frasa pembuka itu bagi banyak kalangan yang berharap pernyataan yang lebih eksplisit, dinilai jauh dari tegas. Frasa itu dinilai sebagai semacam kode bagi pihak-pihak yang telah dirunding sebelum pernyataan publik diluncurkan. Kode tentang konteks untung-rugi bagi parapihak yang bertikai dan telah dirunding di balik pintu tertutup, atas nama “keseimbangan”, jika “keserasian” dirasakan terlalu tinggi nilainya.

Meskipun SBY kerap menggunakan alasan tidak mau mengambil keputusan secara buru-buru dan reaktif serta selalu membutuhkan analisis mendalam tentang situasi yang dihadapi, tetapi itu tidak berlaku ketika menghadapi pencederaan citra baiknya. Dia cenderung reaktif. Jika perlu ia menegur anak-anak yang mengantuk kelelahan karena sudah bersiap diri berjam-jam menyambut SBY, ditambah dengan rasa bosan mendengarkan kalimat-kalimat yang susah dipahami, yang dikesankan canggih, pada pidato hari anak beberapa waktu lalu. Di luar situasi terkait citra, ciri khas SBY adalah penundaan….

Procrastination atau perilaku menunda punya banyak sisi. Ada sisi terkait sikap memandang remeh atau menggampangkan situasi atau keputusan yang harus diambil. Hal yang seharusnya menjadi prioritas tertinggi diletakkan lebih rendah, yang pada banyak kasus terjadi karena keyakinan berlebih pada kemampuan yang dapat dikerahkan untuk bertindak pada detik-detik terakhir. Yang konyol, ini sering terkait dengan ketagihan seseorang pada dorongan adrenalin (adrenalin push). Semakin mendesak keadaan yang dihadapi, semakin besar kenikmatan yang dirasakan orang yang ketagihan adrenalin.

Sisi lain procrastination secara umum terkait dengan ketidakyakinan pada kemampuan diri menghadapi situasi atau pada konsekuensi dari keputusan yang harus diambil. Ini seringkali melibatkan perhitungan yang rumit, yang bolehjadi rasional tetapi bisa juga tidak rasional. Semua peluang konsekuensi dihitung hati-hati, kemudian dipikirkan dan dirumuskan tindakan-tanggap yang dianggap memiliki kerugian paling kecil, jika memaksimumkan manfaat boleh dikatakan terlalu optimistik.

Namun Yudi Latif melihat dari sisi berbeda. Pada tulisannya di Kompas, 9 Oktober 2012, "Menanti Konsistensi Presiden", Yudi Latif menggambarkan SBY ibaratnya seorang Houdini, yang memiliki segudang cara meloloskan diri dari berbagai jeratan situasi yang menekannya. Segudang cara, atau sederhananya kita sebut saja SBY escaping toolbox, mencakup kekuasaannya atas distribusi logistik serta kemampuannya mengelola efek mediatik.

Terlepas dari mana yang benar, menurut saya itu jadi tidak penting. Yang jelas memori publik mencatat dan terekat kuat ciri kental rejim SBY selama dua periode, menunda dan menjaga citra baik. Entah, apakah ciri tersebut akan dicatat pada buku sejarah resmi negeri amburadul ini, atau sekedar jadi penanda masa yang lambat laun akan dilupakan rakyat yang setiap saat terus menerima kejutan-kejutan masalah kehidupan akibat pengurusan Negara yang secara sadar dan terencana dirancang untuk lebih berpihak kepada elit-elit modal finansial, dalam dan luar negeri.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: