Awicaks
Salah satu hal paling sulit sebagai manusia adalah mengetahui kebenaran isi hati manusia. Mengetahui apakah orang itu ikhlas atau punya siasat dan kepentingan tertentu di balik sikapnya. Mengetahui kebenaran apa yang diucap sedikit banyak masih dapat diraba, dirasa dan ditelaah berdasarkan latarbeakang hubungan kita dengan orang itu, serta informasi tambahan lain terkait dengan situasi dimana kita, orang itu dan pihak lain terlibat dalam seluruh hiruk-pikuk transaksi yang pernah dan sedang terjadi. Ucapan bisa direkam, dikunci dan digunakan sebagai alat bukti menagih kesungguhan makna dan kandungan (content) yang disampaikan.
Namun tidak untuk isi hati manusia. Hanya pada aras transaksi keimanan campur-tangan tata-nilai bersama terhadap isi hati, yang diwujudkan sebagai hitung-hitungan kepentingan, dorongan melakukan tindakan dan niat, secara tertulis (tekstual) diatur, baik lewat kita-kitab keagamaan maupun aturan-aturan tambahannya. Meski demikian, pengaturan itu secara sosial begitu sumir dan sangat bersandar pada karakter si manusia untuk menegakkan atas dirinya sendiri. Suudhon atau praduga atau syak-wasangka, suatu respon sosial manusia meragukan atau mencurigai isi hati manusia lain, pada aras keimanan ditetapkan sebagai satu sikap dan tindakan yang buruk.
Tidak dibutuhkan nalar yang rumit, telaah dan kajian mendalam untuk memahami kepada siapa seharusnya orang menghormat, menghamba dan mengabdi. Tidak perlu pula kita mengkotak-kotakkan pemahaman itu berdasarkan kelompok keilmuan, karena secara normatif kita seharusnya diharapkan menghormat, menghamba dan mengabdi pertama kali adalah kepada diri sendiri serta lingkungan kecil di sekitar kita, kemudian secara sosial kepada orang-orang yang telah memberi kepercayaan terkait dengan tugas untuk kepentingan bersama yang lebih luas. Lurus tidaknya orang-orang yang telah diberi kepercayaan untuk melakukan tugas atas nama kepentingan bersama dicoba untuk diawasi dan dikendalikan lewat struktur-struktur ciptaan manusia yang telah disepakati bersama, baik secara langsung maupun secara berjenjang lewat mekanisme keperwakilan. Meski demikian, pengaturan-pengaturan tersebut, bahkan yang paling canggih sekali pun, senantiasa terhenti dan terhambat begitu berhadapan dengan isi hati orang yang telah diberi mandat bersama: hitung-hitungan kepentingan pribadi, dorongan melakukan tindakan dan niat.
Tanggapan yang bermunculan di luar tata-pengaturan, baik yang bersembunyi di bawah payung tertentu maupun yang berlangsung secara organik dan spontan, dimungkinkan tetapi juga tak berarti apa pun karena tidak ada keharusan untuk ditanggapi oleh orang yang menerima mandat secara resmi, karena memang tidak diatur secara resmi terkait dengan mandat dan penugasannya. Satu-satunya cara agar si penerima mandat bereaksi adalah dengan memainkan isi pesan yang dirancang sedemikian rupa agar dapat menyinggung sisi-sisi peka karakternya. Maka peran mandat sudah tidak lagi relevan ketika kisah berada pada tahapan ini.
Maka, sebagai warga negeri pulau-pulau Nusantara, saya tidak harus merasa kesal menyaksikan kepengecutan yang dipamerkan orang-orang penerima mandat warga ketika mengalir kecaman dari berbagai kalangan terkait dugaan menerima uang haram dari dana non-bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Saya pun tidak perlu marah-marah ketika orang-orang penerima mandat warga bereaksi keras atas nama melindungi dan menjaga citra positif diri, hak-hak istimewa sebagai imbalan tanggungjawab penugasan sosial-politik, serta kemewahan tambahan berupa ruang-ruang tertutup tempat mereka mengeksploitasi seluruh mimpi-mimpi liar di masa lalu yang baru kesampaian ketika menerima mandat ini.
Saya kira saya hanya bisa tersenyum menonton sikap kekanak-kanakan orang-orang yang diberi gelar presiden, wakil presiden, tokoh politik dan sebagainya, saat bereaksi terhadap dugaan-dugaan tersebut. Meskipun sebagai warga yang lumayan terdidik dan terinformasikan saya ingin juga menonton satu peragaan seni-peran yang lebih elegan, yang sedikit banyak memuaskan selera seni saya. Tetapi saya baru tersundut syaraf-syaraf marah saya manakala menyadari bahwa hiruk-pikuk sepanjang satu bulan terakhir tentang aliran dana non-bujeter DKP itu tidak memberi manfaat apa pun terhadap pengurangan jumlah anak bawah lima tahun (balita) bergizi buruk di seantero negeri, juga tidak memberi manfaat apa pun terhadap pengurangan jumlah kematian ibu-ibu melahirkan di sekujur tubuh Nusantara, apalagi memberi manfaat terhadap pengurangan jumlah orang-orang yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan (meski mutu pendidikan formal di negeri ini pun sangat amburadul).
Sebagai warga saya berhak bertanya, "Apakah pasangan SBY-JK memang tidak menerima aliran dana non-bujeter DKP, serta tidak menerima duwit dari pihak asing?" Sebagai warga berakal sehat, secara kasat saya bisa melihat dan memperkirakan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menggalang suatu gerakan massif menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004 kemarin. Dan tak seorang pun dari para kontestan yang terbebas dari hukum pasar yang kapitalistik yang bekerja purna-waktu, tak kenal lelah datang menagih. Alat-alat yang diciptakan untuk mengawasi bersih tidaknya para calon memang tidak sempurna. Belum lagi kita menjamah urusan niat (baik atau buruk) baik secara orang per orang maupun secara rombongan yang tak terjamah alat-alat pengawasan tersebut, kasak-kusuk persekongkolan untuk mengalahkan lawan lewat cara-cara curang (karena dilarang oleh aturan main yang disepakati bersama) pun sulit dijamah.
Sebagai warga pada akhirnya saya hanya bisa berkata, "Tunjukkan bahwa Anda, penerima mandat saya sebagai warga, adalah pemimpin-pemimpin pemberani, pemimpin-pemimpin yang bukan pengecut. Sebagai warga saya memahami tidak ada manusia yang sempurna. Sebagai warga saya bisa menerima pemimpin berbuat salah, sepanjang ia mengakuinya secara terbuka, dan ia pun berjanji secara terbuka untuk memperbaiki dampak yang timbul akibat tindakan curang itu."
Maka kata-kata saya pun hanya tersimpan di blog ini. Hanya dibaca oleh saya sendiri. Mungkin juga oleh orang-orang iseng yang kebetulan mampir di warung kecil dan sepi ini. Dan kata-kata itu pun tak akan pernah punya gaung apa pun, karena sistem kepemimpinan negeri ini sedari dulu memang berkarakter pengecut.
26 Mei 2007
Saturday, May 26, 2007
Dana Non-bujeter DKP Lagi - Pameran Kepengecutan Pemimpin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment