Awicaks
Tak pernah ia bermimpi akan dikepung begitu banyak orang di tepi jalan, sesaat setelah membulatkan tekad membantu seorang perempuan paruh baya yang terjatuh dari sepeda motornya. Dan yang disebut kerumunan orang sesungguhnya hanya berkelamin laki-laki. Wajah-wajah mereka tak ramah. Wajah-wajah mereka pun tidak memiliki kemiripan satu sama lain. Namun semua mengaku bersaudara dan punya tali keluarga dengan perempuan yang malang itu. Dengan beringas mereka menuntut tanggungjawabnya. Laki-laki itu bingung dan panik. Dengan kemeja putih yang terciprat darah di beberapa bagiannya, suara laki-laki itu tenggelam oleh teriakan-teriakan beringas. Diantara kepanikannya, pikirannya sibuk menelaah. Salahkah berniat menolong orang? Masih dalam kepanikan, laki-laki itu mengkaji lebih tajam. Apakah mereka buta, mobilku kan berjarak hampir seratus meter dari sepeda motor yang terjerembab itu? Makin tajam lagi. Apakah karena aku bermobil aku layak dijadikan kambing hitam kecelakaan itu?
Berkelebat kilas-balik di kepala laki-laki itu. Tak lama setelah melihat sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang perempuan paruh baya, sekitar seratus meter di depan mobilnya, oleng kemudian terjerembab di atas aspal, laki-laki itu memutuskan untuk berhenti, meski sesungguhnya ia tengah dikejar waktu. Ia memarkir mobilnya tak jauh dari posisi sepeda motor itu tergolek, sementara si perempuan paruh baya menangis, mengurut-urut betisnya yang penuh darah, yang mungkin kulitya sobek karena bergesekan dengan aspal yang panas dan keras. Memang laki-laki itu tak sempat menoleh kiri kanan. Pusat perhatiannya hanya kepada perempuan paruh baya itu. Ia pun mencoba mengangkat perempuan malang itu ke mobilnya dengan niat untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sebelum niatnya tercapai, tiba-tiba ia telah dikerumuni oleh lebih dari lima laki-laki dengan wajah tak ramah. Dan kelebatan itu pun lenyap dari kepalanya. Ia kembali ke dunia nyata. Dunia yang saat ini sungguh tak ia pahami sama sekali. Gerombolan laki-laki itu terus mendesaknya, menuntut ganti rugi, biaya pengobatan, sementara perempuan malang itu tergolek di atas jalan, tak berhenti menangis, tanpa seorang pun peduli. Sungguh ia benar-benar tak paham....
Kisah pendek di atas saya cuplik dari pengalaman seorang kawan. Kawan itu akhirnya berurusan dengan polisi. Di kantor polisi ia sama sekali tak diberi kesempatan menjelaskan. Wajahnya sudah lecet-lecet dan darah keluar dari pinggir bibirnya. Ya, ia dipukuli saat dirangsek oleh polisi, seperti halnya seorang pencopet tertangkap tangan. Kawan saya itu kebingungan. Apakah tak ada saksi yang melihat bahwa ia tak bersalah? Mengapa tak seorang pun mengecek ke perempuan paruh baya yang terpaksa bergerak mengingsutkan dirinya sendiri ke tepi jalan (tanpa bantuan seorang laki-laki pun yang bergerombol mengepung kawan saya), yang mungkin mencoba menghindar dari panasnya aspal. Kawan saya berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak menabrak sepeda motor itu. Berkali-kali pula ia menjelaskan bahwa ia berhenti dan berniat untuk menolong. Tetapi seorang polisi tanpa seragam mentertawakannya. "Hari gini ada orang naik BMW berhati mulia?" Orang-orang di ruangan pun riuh tertawa menyambut ucapan petugas tak berseragam itu.
Potongan pengalaman di atas bisajadi relevan dengan apa yang terjadi pada 12 Mei 1998. Ketka serombongan massa laki-laki melabrak rumah-rumah warga keturunan Cina di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat, menyeret perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung ketakutan, menelanjanginya, kemudian memperkosanya bergantian. Potongan kisah yang mendidihkan darah itu saya baca dari buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, dan Analisa (2007) yang disusun dan disunting Esther Juliani Jusuf, bekas aktivis YLBHI yang terlibat dalam Tim Pencari Fakta Kerusuhan 12 Mei 1998. Ada banyak pertanyaan bergolak dalam kepala. Bagaimana mungkin mereka melakukan perkosaan di tempat terbuka? Apakah mereka berada di bawah pengaruh obat-obatan tertentu? Atau mereka berada dalam keadaan kesurupan (trance) oleh dendam kesumat yang telah dipendam bertahun-tahun lamanya, sehingga apa pun bisa mereka lakukan, meski itu jauh berada di luar jangkauan akal sehat? Inikah yang disebut dendam kelas?
Kisah serupa juga terjadi ketika badai Katrina menerjang New Orleans, Amerika Serikat pada 23 Agustus 2005, dimana orang-orang (sebagian besar laki-laki)yang selama ini hidup di gorong-gorong, sudut-sudut kota yang kumuh, tiba-tiba merasa memiliki kekuasaan di atas kota yang tengah berantakan akibat bencana. Tak hanya menjarah toko-toko untuk mendapatkan makanan, namun juga tindakan kekerasan seksual kepada perempuan. Meski kisah itu hingga saat ini masih diperdebatkan kebenarannya, bahkan beberapa tulisan dan artikel menyatakan bahwa tindak perkosaan tidak pernah terbukti sama sekali, namun setidaknya kita memperoleh gambaran tentang hebatnya daya rusak tatanan ekonomi-politik kapitalisme yang diusung Amerika Serikat, serta daya bakarnya yang tinggi untuk menimbulkan ledakan-ledakan dendam kelas.
Rujukan terbaik tentang eratnya keterkaitan antara eksportasi yang gencar demokrasi yang berorientasi ke pasar bebas dengan tingkat kekerasan oleh kelompok-kelompok miskin mayoritas terhadap kelompok-kelompok kaya minoritas di berbagai negara bagi saya adalah World on Fire oleh Amy Chua, seorang profesor hukum dari Universitas Yale, Amerika Serikat. Amy Chua adalah seorang warga Filipina keturunan Cina yang memiliki pengalaman langsung dengan fenomena tersebut, ketika bibinya tewas dibunuh oleh seorang pegawainya sendiri, tetapi tidak pernah ada tindakan hukum oleh aparat kepolisian terhadap si pelaku. Amy Chua lahir dari keluarga Cina yang kaya di Filipina. Dalam bukunya Amy Chua pun mengambil kekerasan Mei 1998 di Jakarta sebagai contoh kasus yang solid.
Harus diakui bahwa apa yang disebut dengan kemiskinan, tindak kejahatan, keberingasan massa, berdiri bersanding sejajar dengan penghisapan dan penindasan segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa atas warga kebanyakan. Ibarat dua sisi mata uang logam. Tak perlu berteori tentang mazhab-mazhab ekonomi-politik kita pun dengan mudah bisa menarik tali penghubung antara laju penumpukkan kekayaan segelintir orang dengan laju kemerosotan kualitas hidup warga kebanyakan. Para pengamat ekonomi cenderung menyebutnya senjang antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Bagi saya, meski kedua fenomena tidak berbanding lurus secara sederhana selayaknya analisis regresi dalam statistika, keduanya punya pertalian dan saling keterikatan. Bahkan saya berkeyakinan bahwa semakin tinggi laju penumpukkan kekayaan segelintir orang di suatu wilayah, semakin banyak bom waktu ditanam dan menanti pemicu yang tepat: Dendam kelas. Dendam yang lahir sebagai anak kandung dari dunia modern yang mengukur kebahagiaan orang dari kemampuan memiliki materi serta jumlah pilihan yang dimiliki untuk pemenuhan hidup berkualitas.
Kawan saya hingga saat ini tak mengerti. Salahkah saya hidup berkecukupan? Salahkah saya mengendari mobil BMW? Salahkah saya mengulurkan tangan bagi orang-orang yang kesusahan di sekitar saya? Apakah menjadi orang miskin berhak untuk melampiaskan dendam kepada orang-orang yang berkecukupan, tak peduli apakah ada kaitannya atau tidak dengan kemiskinan yang dideritanya? Sungguh, ia tak bisa memahaminya....
23 Mei 2007
Wednesday, May 23, 2007
Dendam Kelas - Sebuah Paradoks Kebahagiaan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment