Wednesday, May 30, 2007

El Tiga, Eldorado

Awicaks

El Tiga atau Lumpur Lapindo Laknat adalah hal yang sangat fenomenal. Potret tipikal pengurusan Negara yang amburadul. Ia pun merupakan bukti kongkret bahwa agenda pengurusan Negara memang tidak untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga, tidak juga untuk menjamin warga mampu memenuhi syarat-syarat hidup berkualitas menurut ukuran masing-masing, serta sama sekali tidak ada urusannya dengan upaya menjamin berlangsungnya jasa alam. Titik koma angka-angka dari beberapa tolok-ukur pertumbuhan ekonomi makro yang menjadi kendali. Keselematan dan kesejahteraan warga adalah bonus, jika angka-angka tolok-ukur itu bisa dicapai. Melindungi investasi modal adalah hal paling penting, karena jumlahnya sedikit. Melindungi warga? Itu nanti dulu, toh jumlahnya masih cukup banyak. Ratusan juta warga itu belum memberi banyak sumbangan kepada angka-angka tadi. Dan El Tiga adalah potret kongkret cara-pikir para pengurus Negara.

Seorang Menteri Lingkungan Hidup bisa dengan entengnya berkata, "Itu gagasan baik, untuk menjadikan kasus lumpur Lapindo ini untuk diteliti sebagai pelajaran penting pengelolaan lingkungan. Tetapi itu baru dapat dilakukan kalau semburan lumpur sudah berhenti." Saya pun menolak pendapat tanpa nurani itu. Saya katakan langsung kepada beliau, "Pada saat penelitian itu akan dilaksanakan, Pak Menteri sudah tidak menjabat, dan mungkin kejadian ini sudah dilupakan banyak orang. Karena negeri ini cenderung membuat warga jadi pelupa dan hilang ingatan sosialnya." Tak ada tanggapan, karena beliau harus segera meninggalkan ruangan, karena pertemuan yang lebih penting. Ini terjadi ketika dilakukan refleksi dan evaluasi lingkungan hidup Indonesia tahun 2006. Ketika itu orang-orang sibuk dengan argumen skala negara, utopik dan makro, yang saya tantang dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo. "Konsep-konsep ekonomi-politik seperti disampaikan pembicara lain memang penting. Tapi coba pecahkan dulu lah semburan lumpur Lapindo ini. Mestinya kita menjadikannya satu test case tentang kesungguhan Negara menjamin keselamatan warganya." Kata-kata itulah yang kemudian ditanggapi oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Dangkalnya cara berpikir birokrat dan politikus Indonesia terlihat pada kegagalan mereka melihat persoalan lumpur Lapindo laknat dari berbagai perspektif sekaligus. Urusan biasanya dikerucutkan hanya menjadi satu cara baca saja: Selamatkan warga. Bagaimana dengan kemungkinan pelanggaran hukum oleh Lapindo? Wah, nanti dulu itu. Itu harus lewat proses hukum yang benar. Bagaimana dengan penyumbatan semburan lumpurnya? Dialirkan saja ke Selat Madura, lewat Sungai Porong. Yang terpenting menyelamatkan warga dulu. Demikian seterusnya, hingga tanpa sadar keselamatan warga yang semestinya tak-terpisahkan dengan keselamatan lingkungan, oleh para politikus dan birokrat bisa diplintir hingga menjadi dua hal yang saling bertentangan. Bisajadi hal itu memang disengaja, tapi tidak tertutup kemungkinan itu tak sengaja terjadi karena cara berpikirnya yang cupet.

Kemana arah penuntasan lumpur Lapindo laknat (El Tiga) ini? Saya menemui beberapa orang dari Departemen Enerji dan Sumberdaya Mineral (ESDM), menanyakan tentang hal ini. Mereka mengatakan, bahwa ini sudah ditangani langsung oleh Presiden. Saya periksa ke kawan lain yang berasal dari kantor-kantor Negara berbeda. Dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, kami sudah tidak dilibatkan sejak terbentuknya Badan Pengendalian Lumpur Sidoardjo. Sementara dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dimana sang pemilik Lapindo adalah juga orang nomor satu, berkata, "Tugas kami selesai ketika status bencana ditetapkan. Sekarang semua ada di tangan BPLS, yang langsung di bawah pengawasan Presiden."

Saya pun bertanya kepada beberapa aktivis organisasi masyarakat sipil (OMS), kemana gerangan arah penuntasan lumpur Lapindo ini. Sebagian besar kira-kira masih ingin membongkar deretan kesalahan-kesalahan yang dibuat baik oleh pihak Lapindo maupun pengurus Negara, terutama Departemen ESDM. Ada hal penting yang mesti didudukkan, kata mereka, yakni tentang pengurusan sumber-sumber enerji yang sarat kongkalikong pemerintah pusat dengan korporasi, serta ketiadaan keterlibatan pemerintah daerah. Ketika saya kembali menanyakan, "Iya, tetapi kemana arah penuntasan lumpur Lapindo ini?" Tak ada jawaban yang langsung dilontarkan. Butuh waktu untuk dipikirkan.

Terus terang, hanya kepada kelompok yang saya sebut terakhir ini saya masih menggantungkan harapan. Kelompok agama? Bahkan di awal-awal semburan elit kelompok agama setempat justru menangguk keuntungan lewat dagang pasir dan tanah uruk. Hal sama juga berlaku bagi politikus setempat, yang kecipratan rejeki dari transaksi pasir dan tanah uruk untuk membangun bendungan penahan luapan lumpur. Kampus? Ini sangat menarik. Kampus-kampus setempat dengan lincah menangkap peluang-peluang dari kejadian lumpur Lapindo ini. Bahkan Institut Teknologi Surabaya (ITS) merasa perlu men-skors beberapa mahasiswa yang dinilai tidak sependapat dengan kampus dan terlalu kritis serta berpihak kepada warga korban lumpur. Memang argumen itu tidak setelanjang itu diungkapkan pihak administratur kampus.

El Tiga memang fenomenal. Ini mestinya disajikan kepada khalayak luas, bahwa pengurus negeri ini memang mengabdi dan mengkacungkan dirinya kepada modal, bukan kepada warga yang telah memilih lewat Pemilihan Umum. Masuknya unsur-unsur modal ke dalam jajaran kepengurusan Negara, dari mulai Wakil Presiden, Menteri hingga lapis-lapis strategis pengambilan keputusan, memperkuat argumen tersebut di atas. Kepada warga korban Lapindo, saya kira hal terbaik yang mesti dilakukan bukan sekedar pasrah direlokasi (dipindahkan), tetapi jika perlu datang ke Kedutaan Besar negara-negara tetangga, minta suaka politik. Karena menjadi warga Indonesia itu sama saja dengan hidup tanpa perlindungan. Bukan cuma warga Papua yang bisa minta suaka politik ke Australia. Saya kira warga korban Lapindo pun pantas mengajukannya. Juga kepada umat Ahmadiyah yang sudah dianiaya, dikangkangi hak-hak asasinya. Setelah sekian lama menanti, jangan-jangan Eldorado (tanah impian) memang bukan berada di Indonesia, tetapi di negeri tetangga...

30 Mei 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: