Wednesday, May 30, 2007

Pilkada - Sesungguhnya Ini Soal Apa?

Awicaks

Ini berangkat dari pertanyaan sederhana. Denny J.A. yang sudah sedemikian berhasil dengan metoda quick-count, mengapa bisa begitu merajai ajang pemilihan kepala daerah (pilkada)? Ibarat penonton sebuah pertunjukan sulap, saya begitu terpesona oleh kecanggihan orang itu. Ketika ia memperoleh penghargaan sebagai seorang political enterpreneur, saya pun terkesiap. Political enterpreneur? Maka pertanyaan saya pun saya tarik kembali....

Era pasar bebas yang serba tergesa, serba kemilau oleh kemasan, ternyata memang sangat ganas merambah semua ranah tata-kehidupan manusia. Tak terkecuali politik. Maka pelajaran-pelajaran dasar demokrasi pun mesti tak diajarkan lagi. Pertama karena ia sudah tak relevan. Kedua, karena politik tak lebih dari arena pemenangan. Jadi ini bukan perkara benar-salah, tapi sesederhana perkara menang-kalah. Menang-kalah di era pasar bebas yang serba tergesa dan serba kemilau menuntut manipulasi-manipulasi produk. "Buatlah warga membeli sesuatu yang sesungguhnya ia tak membutuhkannya."

Sehingga program-program pendidikan publik lewat media televisi, seperti yang diusung Wimar Witoelar dan Effendi Gazzali, jadi seperti kotbah-kotbah kosong para pemuka agama tua, yang tak mampu mengejar kemilau gaya hidup pemuka agama usia muda, yang tahu bagaimana merebut perhatian pangsa agar mau membeli produk-produknya. Padahal Wimar dan Effendi adalah dua orang pakar komunikasi. Agaknya pesan moral memang tidak akan pernah bisa dikemas sedemikian rupa dalam komoditas pasar bebas yang serba kemilau dan serba tergesa. Acara Gubernur Kita mencoba membalikkan opini publik dengan coba mengganggu para kandidat yang lebih mengandalkan kuasa dan modal. Pada akhirnya kedua pakar komunikasi itu pun harus takluk tunduk kepada aturan pasar, ketika kuasa modal menghentikan langkah mereka.

Pengalaman Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah satu anomali. Anomali yang timbul oleh kepongahan para politikus yang bersandar pada kuasa dan modal. Namun juga anomali yang merupakan reaksi negatif terhadap peran-peran para konsultan pemasaran politik. Calon independen bukan sesuatu yang atraktif sekarang ini buat para konsultan pemasaran politik. Pertama, karena mereka tidak punya modal besar, sehingga tak akan mampu membayar professional rates mereka yang sudah sedemikain tinggi. Kedua, partai politik masih tetap menjadi simpul-simpul pemasaran komoditas politik yang handal hingga saat ini. Tetapi ini lebih kepada besarnya nilai transaksi, bukan soal hasil akhir, menang-kalah.

Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah pertarungan yang aneh. Pertarungan antara akal sehat, kebutuhan tanding yang elegan dengan kerakusan para political enterpreneurs. Jadi, ini sesungguhnya soal apa?

30 Mei 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: