Awicaks
Apa yang terjadi jika calon independen diberlakukan pada pilkada di seluruh wilayah Nusantara? Fakta tak terelakkan adalah: Partai-partai politik menganggur dan kehilangan ruang "bermain"-nya. Meskipun ini adalah hal yang secara normatif baik, dan saya yakin orang-orang partai politik pun akan mengakuinya sebagai bentuk transaksi demokratik yang lebih bertanggung-gugat dan kental tali mandatnya, mereka tak akan semudah itu menerimanya. Pergolakan kata-kata di ranah publik akan ramai, walaupun yang akan kita saksikan hanya perdebatan-perdebatan kosong tak bermutu, karena kemampuan artikulasi para pekerja politik yang rendah, kalau tak mau disebut pas-pasan. Namun bukan tidak mungkin akan terjadi sebaliknya.
Bisa saja terjadi partai-partai politik akan menggebu-gebu mendukungnya. Calon independen akan berarti dan bermakna hanya pada pilkada. Begitu orang-orang non-partisan itu duduk di kursi kekuasaan, orang-orang partai politik, terutama yang memiliki proporsi hak suara dalam jumlah besar, akan bangkit gairahnya. Fakta dan sejarah dari berbagai negara menunjukkan, pengurus pelaksana negara dari golongan minoritas seringkali menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugasnya ketika berhadapan dengan parlemen dengan komposisi yang didominasi oleh golongan atau partai politik tertentu. Walaupun para politikus parlemen mahfum, paham dan tahu bahwa pimpinan pengurus pelaksana negara dipilih langsung oleh Rakyat, di dalam ruang parlemen merekalah yang pegang kendali.
Calon independen untuk ukuran geografik terbatas, seperti wilayah administratif kabupaten, nilai lebihnya tidak terbatas hanya pada pilkada. Tali mandat dan transaksi demokratik yang lebih bertanggung-gugat dapat didorong menjadi instrumen pengawasan publik sekaligus ajang uji publik dan uji ketepatan dengan latar setempat terhadap struktur politik yang diimpor dari berbagai sumber. Mungkin hal sama berlaku pula untuk wilayah administratif provinsi dengan ukuran geografik tak terlalu luas seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta. Dan ia bisa sama sekali tak ada artinya ketika diberlakukan di pulau Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), selain karena dimensi luasan geografiknya yang sangat besar ditambah pula dengan tingginya keragaman latar etnik dan bahasa, serta dalamnya cengkeraman cakar-cakar kuasa politik dan modal dari luar karena wilayah ini memiliki cadangan mineral, minyak bumi dan gas yang sangat besar.
Pada latar yang lumayan pas, seperti DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, kepala daerah non-partisan dapat didorong untuk mampu menjawab krisis warga dalam bentuk dan persepsinya yang sejati. Masalah yang kerap terjadi pada tindakan-tindakan solutif pengurus wilayah atau Negara dalam menangani krisis warga terletak pada panjangnya rantai aliran sebab-akibat yang digunakan sebagai argumen perumusan kebijakan dan tindakan. Atas nama dampak solusi yang lebih luas kebijakan dan tindakan diarahkan pada faktor-faktor penyebab tidak langsung atau bahkan sering hanya pada faktor-faktor pendorong (driving forces). Jauhnya jarak antara ruang tindakan dengan bentuk dan persepsi sejati krisis membuka peluang-peluang korupsi oleh pengurus wilayah atau Negara. Kepala daerah non-partisan memiliki potensi untuk memperpendek mata-rantai sebab-akibat untuk dirumuskan kebijakan dan tindakan solutif yang lebih berarti dan bermakna. Syarat tambahan yang dibutuhkan hanya soal keberanian menghadapi kejahilan dan kelancangan parlemen yang didominasi orang-orang yang haus kuasa dan uang.
Potret SBY jika dilepaskan dari MJK sebagai presiden yang diusung partai baru dan kecil di tengah rimba parlemen mayoritas, mestinya dapat menggunakan perspektif ini. Pertama karena ia dipilih langsung oleh warga. Kedua, jika SBY menjadi satu kesatuan dengan MJK (meskipun pada kenyataan keduanya ibarat air dan minyak), perspektif ini pun mestinya tetap dapat digunakan, karena MJK berasal dari partai mayoritas di parlemen. Kurang apa? Agaknya jawabannya hanya satu: Kurang berani.
6 Juni 2007
Wednesday, June 06, 2007
Ini Soal Nyali dan Mandat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment