Monday, June 11, 2007

Nuklir di Indonesia?

Awicaks

Riset dan pengembangan teknologi nuklir berlangsung secara mengendap-endap. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan beberapa laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek) di wilayah Serpong bertahun-tahun beroperasi secara tertutup. Tidak ada laporan pertanggung-gugatan kepada publik. Tak jelas darimana sumber pembiayaan operasional kedua badan milik Negara tersebut. Jadi tidak perlu terkejut apabila pengurus Negara dari rejim ke rejim tak pernah (berkehendak) mematikan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang pada awal hingga pertengahan tahun 1990an mendapat tekanan publik.

Satu hal yang mestinya jadi perhatian banyak pihak adalah absennya kreasi anak-bangsa dalam hal teknologi tinggi (hitech), selain mengimpor, mengadaptasi dan mengadopsi. Walaupun pusat-pusat penelitian dan pengembangan (litbang) berserakan di berbagai kantor-kantor Negara serta badan-badan usaha domestik, ketergantungan bangsa ini kepada tenaga asing sangat tinggi, meskipun di negeri asalnya tingkatan mereka tak lebih dari sekedar montir. Pada investasi industri berbasis kekayaan alam, terbarukan maupun yang tak-terbaruka, Indonesia merupakan tempat sampah ideal bagi berbagai teknologi yang di negara asalnya sudah lama ditinggalkan dan bahkan secara hukum dilarang penerapannya. Tapak ekologis teknologi pemanfaatan kekayaan alam berupa kerusakan lingkungan tak terpulihkan tersebar merata di pulau-pulau yang berlimpah kekayaan alamnya. Dan bangsa ini pun tergopoh-gopoh mengupayakan kemampuan pembiayaan agar importasi moda-moda pemanfaatan kekayaan alam terus berlangsung.

Hal lain yang tak kalah pentingya adalah kualitas disiplin operasionalisasi teknologi yang sangat rendah. Tingkat kecelakaan industri akibat kelalaian dan ketidakdisiplinan yang didukung oleh kualitas pengambilan keputusan manajerial operasi yang amburadul sudah jadi rahasia umum. Rangkaian peristiwa kecelakaan transportasi (darat, laut, udara) sepanjang kurun limabelas bulan terakhir merupakan bukti tak terbantahkan. Bencana industri lumpur Lapindo mestinya menjadi perhatian semua pihak, bahwa aspek keselamatan warga di sekitar lokasi operasi ekstraksi migas yang beresiko tinggi belum menjadi prioritas para pengurus Negara.

Dengan dua kualitas buruk di atas apakah teknologi nuklir layak diterapkan di pulau Jawa, pulau yang tingkat kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia? Ketergantungan kepada tenaga asing untuk pengoperasian akan terus menyeret negeri ini ke jejaring utang lebih dalam lagi. Belum lagi kalkulasi resiko yang lebih mengutamakan keselamatan investasi dibandingkan keselamatan warga dan lingkungannya. Bahkan seorang Habibie di masa lalu bisa seenaknya membuat pernyataan publik, bahwa penempatan instalasi nuklir bisa dilakukan di Papua, ketika menanggapi tekanan publik yang menggunakan kepadatan penduduk dan keselamatan warga sebagai argumen utama. Kualitas disiplin yang buruk, konsumtifisme terhadap teknologi, serta absennya perlindungan Negara terhadap keselamatan warga harus menjadi argumen utama bahwa teknologi nuklir adalah pilihan yang salah dan sembrono.

11 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: