Awicaks
Sebenarnya sudah lama saya merasa terganggu dengan menjamurnya partai politik tak lama setelah minggirnya Suharto dari singgasana RI-1. Libido kekuasaan yang lama terpendam meledak tanpa arah. Semua orang tiba-tiba suka bicara di ruang publik. Semua orang tiba-tiba haus dan rakus publisitas. Dan semua orang beramai-ramai membangun partai-partai politik tanpa melewati kelaziman lahirnya sebuah organisasi sebagai alat untuk mencapai cita-cita bersama (ideologi). Di awal pesta lepas kerangkeng lahirnya partai-partai politik sering mengundang senyum geli bahkan tawa lebar. Mulai dari namanya yang aneh-aneh dan dipaksakan, visi-misi yang lebih kurang mirip dan serupa maksudnya, pola rekrutmen anggota dengan motto asal banyak, hingga ke logo yang sungguh menghina cita rasa seni yang pantas.
Saya terlibat pada pelatihan-pelatihan penguatan organisasi partai dan pelatihan kampanye politik (hanya) untuk partai-partai besar, yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi non-pemerintah asal Amerika Serikat yang berafiliasi ke Partai Demokrat. Di awal putaran pelatihan saya sangat terganggu oleh rendahnya kemampuan artikulasi peserta yang kabarnya adalah kader-kader handal dari partai-partai besar. Juga sangat terganggu oleh sempit dan cupetnya wawasan serta dangkalnya pengetahuan (bahkan yang paling) umum mereka. Pembicaraan di kalangan mereka lebih tentang kelemahan partai saingan. Juga tentang informasi miring kelakukan para elit partai tetangga. Krisis warga? Nanti lah, masa kampanye masih jauh, begitu kata mereka.
Ketika partai politik menjadi penentu bagi proses pencalonan untuk pemilihan kepala daerah (pilkada), saya merasa terhina akal sehat saya. Tak perlu intelejensia tinggi untuk menebak bahwa ketentuan itu berorientasi kepada transaksi dagang belaka. Partai-partai politik, terutama yang memiliki proporsi mayoritas di parlemen, tiba-tiba menjadi tuhan bagi jagad politik kekuasaan negeri pulau-pulau ini, salah satunya dalam hal pilkada. Kesepakatan dengan barisan orang-orang yang berminat dan berniat mencalonkan diri sangat tinggi dinamikanya. Dalam hitungan menit keputusan bisa berubah. Saya sempat menuliskan komentar agak pedas di blog Perspektif Baru-nya Wimar Witoelar, ketika dalam salah satu fragmen Gubernur Kita ia dan Effendi Gazali membahas tentang visi dan misi para bakal calon gubernur DKI pada program Gubernur Kita. Saya mengomentari tentang relevansi pesan-pesan program itu dengan realita jaga politik di negeri ini. Sepanjang sistem masih membuka peluang untuk terjadi suap, korupsi dan politik utang-jasa apakah relevan membicarakan kualitas moral serta visi-misi para bakal calon gubernur.
Kenyataan pahit yang mesti dibelejeti di hadapan khalayak adalah ketiadaan tali-temali mandat antara eksistensi partai politik dengan krisis yang dihadapi warga. Kemakmuran rakyat, kemajuan bangsa, bangsa bermartabat adalah retorika kosong yang harus ramai-ramai dilembar ke liang lahat. Visi-misi (saya keberatan untuk menyebutnya ideologi, karena toh ujung-ujungnya hanya soal uang) mesti bisa ditakar dengan penurunan derajat derita warga. Gunakan tolok-ukur yang telah digunakan secara luas, misalnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI), yang dikeluarkan UNDP. Bagaimana visi-misi partai politik dapat menurunkan tingginya angka kematian ibu-ibu melahirkan (jangan salah, DKI Jakarta tidak lebih baik dibandingkan skor yang dimiliki wilayah lain, misalnya Sumatra Utara).
Ketika saya sedang duduk menikmati secangkir kopi di kafetaria stasiun kereta api Bogor, mata saya tertumbuk pada kepala berita harian Warta Kota, "Dikhianati, Sarwono Mundur." Saya tersenyum. Sudah saatnya partai-partai politik di Indonesia dibuat menjadi barang paling tidak relevan. Saya rasa bukan suatu aksioma untuk mengatakan bahwa partai politik adalah salah satu tiang penyangga demokrasi, meskipun ia diatur secara legal formal di dalam peraturan perundang-undangan. Karena kenyataannya tata-kehidupan di negeri ini toh berlangsung begitu saja, tanpa lewat pengaturan-pengaturan beralas hukum, kecuali ketika kepentingan elit kuasa politik dan elit kuasa modal terancam. Senyum saya makin melebar ketika membaca isi berita, dimana disebutkan bahwa pasangan Sarwono - Jeffrie akan maju sebagai calon independen. Jemari pun bergerak cepat menekan papan-kunci telepon genggam untuk menuliskan pesan singkat dan mengirimkannya kepada beberapa orang yang saya anggap penting untuk diprovokasi. "Bangkrutkan partai-partai politik yang telah menyuburkan korupsi negeri ini. Dorong calon independen untuk pilkada DKI. Semakin banyak semakin baik!"
5 Juni 2007
Tuesday, June 05, 2007
Menanti Kabar Gembira
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment