Awicaks
Gempar penggunaan bahan kimia pengawet mayat atau formaldehyde yang terkenal dengan sebutan singkat formalin sebagai bahan pemrosesan dan pengawet makanan hanya contoh kecil kreatifitas warga Indonesia yang merusak. Jambal roti yang dulu begitu diimpikan, karena asin dan gurih yang sangat lezat disantap bersama nasih hangat dengan sambal terasi dan lalapan, harus dibuang jauh-jauh dari daftar makanan yang aman dikonsumsi. Demikian pula halnya dengan tahu kuning yang mengundang selera, atau mie telur dengan warna yang menggairahkan. Baru-baru ini kita pun dibuat kaget dengan berita mengenai penggunaan tawas dalam proses pembuatan krupuk atau emping melinjo yang lezat dan digemari luas. Kreatifitas menggunakan bahan-bahan kimiawi bukan tanpa kesadaran atau pemahaman bahwa itu berbahaya bagi penggunanya. Namun tekanan ekonomi menjadi panglima. Kehidupan yang serba berat menyebabkan para pembuat makanan mengenyampingkan keselamatan warga pengguna makanan yang diproduksinya. Jangankan kami, wong pengurus negara saja tidak peduli dengan keselamatan warganya.
Penyimpangan-penyimpangan seperti itu, tindakan-tindakan kreatif-destruktif warga menyiasati tekanan akibat tata-ekonomi yang tidak distributif dan tidak desentralistik, berada di luar nalar para teknokrat dengan titel berderet-deret, bersekolah lanjut di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di belahan utara benua Amerika dan beberapa negara Eropa serta negara lain yang berafiliasi. Absennya kepekaan memahami gambaran kongkret orang susah memperparah cara-baca, cara-telaah serta kemampuan merumuskan gagasan yang akrab-keselamatan warga kebanyakan, atau grassroots safety friendly solution. Ini istilah saya saja. Tidak akan ditemukan di teks-teks manapun. Hal lain yang menjadi penyebab adalah ketidaklengkapan para teknokrat pembangunan memahami kerumitan-kerumitan sistem sosial negeri ini. Mereduksi potret sosial Indonesia menjadi sosok warga imajiner yang patuh dan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang mereka pelajari dari sekolah-sekolah tinggi di negeri lain sudah menjadi tradisi ilmiah para teknokrat pembangunan negeri ini.
Kalau boleh dibilang, satu-satunya alat pertahanan warga untuk dapat bertahan hidup di wilayah definitif Negara Republik Indonesia yang tidak mempedulikan keselamatan warganya adalah dengan mengembangkan pola-pikir paranoid. Juga pola-pikir pencuriga. Namun bukannya bertahan hidup yang didapat, bisa-bisa kita justru akan mati pelan-pelan, karena orang-orang di sekeliling kita justru tidak mau repot dengan pikiran-pikiran bersiaga, karena tekanan kehidupan yang tak kunjung berhenti. Biarlah kita setiap hari mengkonsumsi makanan berpengawet bahan kimia berbahaya penyebab kanker dan penyakit khronik lain. Apa pula pusing kita kalau menggunakan obat-obat palsu yang beredar luas dan mudah didapat. Kenapa pula mesti repot menanyakan apakah bahan pangan yang beras yang kita beli itu adalah beras rusak sisa ekspor yang telah diberi bahan kimia pemutih (bleaching). Saking banyaknya orang yang bersikap seperti itu, mereka yang paranoid dan pencuriga untuk tujuan keselamatan justru dilihat sebagai mahluk-mahluk aneh dan tidak realistik.
Hal sama bisa kita lihat di jalan-jalan perkotaan di pulau mana pun di negeri ini. Polisi lalu-lintas berdiri di tepi jalan, mengawasi aliran kendaraan, sibuk mengamati mana warga yang melanggar peraturan. Warga, terutama para pengendar sepeda motor, tak pusing dengan kehadiran orang-orang berseragam itu, sepanjang mereka sudah memenuhi syarat untuk tidak ditangkap: Helm (yang belum tentu berfungsi sebagai pelindung batok kepala), lampu utama dan lampu petunjuk arah sudah terpasang, dan tak lupa pelat nomor dengan informasi singkat kelunasan pembayaran pajak kendaraan. Bagaimana dengan etika berkendara atas nama keselamatan bersama? Itu terlalu abstrak baik bagi warga maupun para petugas polisi lalu-lintas yang juga menjadi bagian tak-terpisahkan dari kerumunan penerima tekanan kehidupan akibat sistem ekonomi yang diciptakan para teknokrat pembangunan negeri ini.
4 Juni 2007
Monday, June 04, 2007
Menjadi Paranoid di Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment