Sebagai pemilik kartel usaha yang menguasai domain dagang dan investasi (domestik) di wilayah Indonesia Timur (dan sekarang mulai merambah ke wilayah Aceh), MJK, sebutan populer bagi Wapres Jusuf Kalla seperti halnya kita menggunakan SBY untuk sang presiden, sangat mudah dibaca motif dan kepentingannya dalam setiap pernyataan publik yang dikemukakan. Sebagai warga biasa saya tidak mengalami kesulitan menduga bagaimana MJK memperlakukan Partai Golkar dan kedudukannya sebagai Wapres RI. Keduanya adalah alat efektif baginya untuk memperluas daya jangkau pengaruh dan cengkeraman kartel usaha keluarga yang (secara tradisional masih) dipimpinnya.
Koran sering merespon pernyataan-pernyataan publik MJK secara normatif, terkait kedudukannya sebagai Ketua Partai Golkar dan Wapres RI. Sangat jarang koran merespon pernyataan-pernyataan tersebut terkait dengan kedudukan alaminya sebagai bagian dari kartel usaha yang merambah dari otomotif, properti dan jasa konstruksi, pertambangan, jasa ekspor-impor, perkebunan hingga sekedar perluasan penguasaan lahan-lahan yang menjanjikan.
Tak usah heran apabila ada pernyataan publik yang direspon keras tokoh lain (bahkan menuai somasi hukum, seperti pada kasus Gus Dur) tidak pernah ditanggapi serius oleh MJK sepanjang tidak mengganggu kelancaran proses perluasan kartel usahanya. Sehingga tak perlu juga kaget dengan sikap kerasnya terhadap "pembangkangan" Boediono dan Sri Mulyani menyangkut investasi monorel di DKI Jakarta, karena dianggap MJK mengganggu kelancaran kerja kartel usahanya.
MJK adalah sosok yang selalu hadir di wilayah-wilayah konflik. Poso, Aceh, dan Maluku, tak peduli apa pun kedudukan dan jabatan publiknya. Tanpa pretensi meragukan motif dan niat mulianya, secara telanjang kita dapat melihat keterkaitan peran kartel usahanya dalam proses bangun-ulang wilayah-wilayah konflik, baik lewat peran kantor-kantor Negara maupun murni sebagai langkah perluasan usaha. Saya kira itu adalah naluri dagang yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh nilai-nilai normatif kedudukannya sebagai pejabat publik. Bagi seorang MJK kedudukan sebagai Wapres sering merepotkannya, karena rantai birokrasi yang tidak praktis dan lamban.
Dengan niat membangun-ulang Aceh yang porak poranda akibat gempa yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004, MJK dengan lincah memprakarsai (untuk pertama kalinya) Instruksi Wapres tentang langkah-langkah gawat darurat yang harus dilakukan kantor-kantor Negara dalam waktu singkat. Kegemparan normatif tidak ditanggapinya secara serius. MJK pun tidak perlu repot-repot menunjukkan sikapnya terhadap koreksi tindakannya tersebut ketika Presiden kemudian mengeluarkan KepPres tentang Tahap Tanggap Darurat, yang kemudian disusul dengan KepPres tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yang lalu diperkuat menjadi Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (Perpu), dan akhirnya menjadi Undang-undang.
Ketika orang-orang sibuk dengan rangkaian lokakarya dan rapat-rapat koordinasi penyiapan dokumen-dokumen hukum tersebut serta cetak-biru operasionalnya, kartel usaha MJK sudah menapak jauh di depan. Pengerahan dana-dana bantuan dari negara-negara Arab kaya, yang tidak hanya untuk membiayai tindakan tanggap-darurat, melainkan sudah masuk ke kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi, berlangsung mulus tanpa harus berkoordinasi dengan Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh dan Nias, karena saat itu badan tersebut belum dibentuk.
Sejarah relatif panjang peran MJK dengan konflik Aceh pun menyumbang kepada langkahnya yang jauh meninggalkan prakarsa pengurus Negara yang sangat lamban, lewat negosiasi-negosiasi tak resmi dengan para petinggi GAM. Perjanjian Helsinki adalah lompatan yang mencengangkan ("Unbelieveable leap," ujar Edward Aspinall, pakar konflik Indonesia), yang tak mungkin bisa terwujud tanpa langkah-langkah pembuka gambit yang dilakukan MJK lewat tim-tim lobinya. Dalam urusan ini saya kira MJK tidak membutuhkan aplaus atau penghormatan atas jasa, karena memang bukan itu yang menjadi sasarannya. Domain investasi masa depanlah yang menjadi pertaruhannya.
Sehingga, ketika MJK kembali mengeluarkan pernyataan publik tentang calon independen pada Pilkada DKI, tak perlu pula kita terkejut. Ia sama sekali tidak mau proyek monorail dan transportasi terpadu di DKI Jakarta dihambat oleh proses Pilkada yang berkepanjangan, karena harus menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen. Kartel usahanya sudah banyak mengeluarkan biaya dan tidak bisa lagi mentolerir perdebatan-perdebatan tak perlu tentang demokrasi.
23 Juni 2007
No comments:
Post a Comment