Majalah Tempo, No. 17/XXXVI/18 - 24 Juni 2007
Pelanggaran HAM Terbanyak di Aceh dan Papua DUA hari berturut-turut pekan lalu, Edward Cornelis William Neloe mendatangi Kejaksaan Agung. Berjam-jam ia dibombardir pertanyaan jaksa seputar pengucuran kredit kepada 22 perusahaan dari Bank Mandiri, perusahaan yang dipimpinnya. Kredit ini kemudian macet. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mensinyalir Bank Mandiri tidak berhati-hati menyalurkan kredit senilai Rp 12,2 triliun.
Di Goethe Haus, Jakarta, Hina Jilani duduk tenang-tenang. Dia menyimak dengan cermat ucapan setiap pembicara, sambil sesekali pulpen di tangannya menggores-gores kertas. Puluhan aktivis hak asasi manusia (HAM) dari berbagai daerah memenuhi ruangan. Terlihat juga beberapa penggiat HAM asing. Hari itu, Kamis dua pekan lalu, mereka datang menghadiri dengar pendapat publik di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta Pusat. ”Bintang pertemuan” adalah Hina Jilani, Perwakilan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pembela HAM.
Secara bergantian mereka mencurahkan unek-unek sebagai pekerja HAM. Setiap pelapor mendapat waktu bicara selama 5 menit. Lewat dari itu, mikrofon dimatikan. Maka, meluncurlah satu demi satu cerita: teror, ancaman, penyerobotan tanah, pelecehan seksual, pembunuhan aktivis HAM Munir, kekerasan terhadap wartawan. Tak sekali pun Hina menyela. Dia patuh pada aturannya sendiri. ”Saya di sini untuk mendengarkan laporan Anda, jadi tidak ada tanggapan,” ujarnya.
Kekerasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Hina Jilani, perempuan Lahore, kini 54 tahun. Di masa remaja, dia menyaksikan ayahnya, seorang politisi yang teguh membela hak-hak kaum minoritas, digiring ke penjara karena tak sudi berkompromi dengan penguasa. Di tanah airnya, Pakistan, Hina mencemplungkan diri sejak muda dalam aktivitas membela kasus-kasus HAM. Bersatu padu dengan saudara perempuannya, Asma Jahangir, seorang aktivis HAM, pengacara terkenal ini giat membela kaum perempuan.
”Kaum perempuan di negeri kami mengalami diskriminasi hukum yang tak terkira,” ujarnya dalam wawancara dengan Human Rights Magazine pada Oktober 1999.
Hina rajin berkunjung ke penjara-penjara untuk mengawasi perlakuan terhadap para tahanan. Mendada segala risiko, ia mendirikan Komisi HAM dan Pusat Bantuan Hukum di negerinya. Beberapa kali masuk penjara, ancaman pembunuhan sudah menjadi menu Hina sehari-hari. Kegigihannya membuahkan aneka penghargaan internasional.
Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan terpikat padanya, lalu memanggil pengacara ini ke Jenewa, Swiss. Kepadanya dipercayakan jabatan Wakil Khusus PBB untuk Pembela HAM. Di posnya yang baru, dia berhasil meyakinkan Komisi HAM PBB untuk mengeluarkan resolusi kepada pemerintah Kolombia. Menurut Hina, perlakuan pemerintah terhadap para pembela HAM di sana sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Hasilnya? Pemerintah Kolombia tunduk pada resolusi dan bersedia membuat Undang-Undang Perlindungan bagi Pembela HAM.
Untuk Indonesia, kesabaran Hina betul-betul diuji. Sebanyak 35 surat ia layangkan selama enam tahun untuk membujuk pemerintah agar mengundangnya ke Indonesia. Baru akhir tahun lalu ia mendapat undangan. Jilani pun terbang ke Jakarta dua pekan lalu untuk memulai penyelidikan terhadap situasi pembela HAM, terutama di Aceh dan Papua.
”Papua amat indah, Aceh sangat menarik, situasinya mirip dengan negara saya ” katanya. Dia bertemu dengan sejumlah pejabat dan aktivis HAM. Ia ke Aceh dan Papua. Hina juga amat ingin bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun tidak kesampaian. ”Presiden padat jadwalnya sehingga tidak bisa menerima. Tapi Presiden meminta sejumlah menteri dan pejabat untuk menerima dan memberikan akses kepada Ibu Hina,” ujar juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, Jumat pekan lalu.
Sebelum terbang ke Papua, Hina meluangkan waktu untuk menerima Maria Hasugian, Abdul Manan, Wahyu Dhyatmika, dan Dimas Aryo dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus. Ditemani sepiring sate ayam dan segelas jus pepaya, Hina menjawab pertanyaan. ”Saya amat suka makan sate,” ujarnya sembari tertawa. Selasa pekan lalu, beberapa jam sebelum ia kembali ke markasnya di Jenewa, wawancara kembali dilanjutkan. Berikut ini petikannya:
Apa yang membuat Anda memutuskan datang ke Indonesia?
Peran Indonesia amat penting dan signifikan di kawasan Asia. Saya mengunjungi Thailand, kemudian Indonesia. Saya tertarik mengetahui jalannya reformasi di sini. Saya ingin melihat sejumlah perubahan kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada situasi HAM setelah 1998 (awal reformasi). Dalam konteks inilah saya tertarik untuk melihat bagaimana situasi ini membawa manfaat bagi para pembela HAM.
Di sini Anda menjumpai kasus besar: Munir—pembunuhan seorang pembela HAM. Bagaimana Anda memandang kasus ini?
Ada indikasi kuat seorang pembela HAM telah dibunuh. Dalam konteks inilah saya menilai kasus Munir penting bagi Indonesia. Saya membicarakan hal ini dalam pertemuan awal dengan pejabat pemerintah. Saya menekankan harapan agar kasus tersebut segera diselesaikan dan pelakunya harus dihukum. Pemerintah harus menunjukkan kemauan baik dan keyakinan penuh untuk melindungi pembela HAM di masa datang.
Istri almarhum, Suciwati, meminta perhatian penuh PBB. Rekomendasi apa yang bisa Anda sampaikan?
Kami rasa tidak perlu mengeluarkan sesuatu yang revolusioner. Kami meminta perhatian penuh dari pemerintah tentang perlunya menangani kasus ini melalui tindakan konkret.
Apakah Anda melihat pemerintah sungguh-sungguh menyelesaikan kasus Munir?
Sejauh ini saya telah melihat pemerintah berusaha menangani kasus ini. Apa penilaian PBB terhadap usaha pemerintah Indonesia menangani kasus ini? Saya hanya bisa mengatakan, pasti ada tuntutan resolusi secara serius dari para pembela HAM yang tertarik pada kasus ini. Dan ada perhatian serius yang ditekankan pada saya tentang investigasi yang telah dan sedang dilaksanakan. Saya berharap ada perkembangan baru dan pemerintah berusaha sungguh-sungguh menyelesaikan kasus ini. Saya melihat setiap kasus serius sebagai tonggak. Pemerintah harus mau melindungi para pembela HAM.
Anda mengunjungi Papua dan Aceh. Apa saja laporan yang Anda terima tentang dua provinsi ini?
Ya, kedua daerah ini begitu penting karena saya mendapat informasi dari 99 orang pembela HAM, terbanyak dari Aceh dan Papua. Dua provinsi ini menjadi prioritas kunjungan saya.
Bisa dijelaskan lebih detail temuan dari kunjungan Anda?
Sebelum ke Aceh sekitar enam tahun lalu, saya telah 35 kali berkomunikasi dengan pemerintah berkaitan dengan situasi pembela HAM di wilayah itu. Saya menerima informasi ada indikasi pembela HAM dibunuh, dihilangkan, diintimidasi, diancam, dilecehkan, bahkan ditakuti-takuti karena mereka berusaha melakukan kegiatan HAM dalam situasi konflik. Padahal, yang mereka lakukan adalah untuk menunjukkan gangguan atas hak-hak sipil, hal yang tidak efektif dalam konflik.
Apa yang Anda lihat di Aceh dalam kunjungan ini?
Ya, (Aceh) luar biasa maju. Apakah kasus-kasus pembela HAM di Aceh yang dulu laporannya Anda terima sudah diselesaikan? Belum. Itulah masalahnya dan itu menjadi keprihatinan saya. Belum ada usaha dari pemerintah untuk memastikan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Saya prihatin sekali, terutama, terhadap kasus-kasus yang sudah saya laporkan kepada pemerintah namun penyelesaiannya belum jelas sampai sekarang.
Apa kasus yang paling banyak dilaporkan tentang pembela HAM di Papua?
Di Papua, kebanyakan mengenai pelanggaran hak mengeluarkan pendapat dan aspirasi bagi para pembela HAM. Umumnya mereka diancam saat menginvestigasi kekerasan militer dan badan intelijen. Kasus terbanyak adalah penahanan sewenang-wenang, ancaman, pelecehan, beberapa tindakan kekerasan. Tapi sejauh ini tidak ada laporan kasus penghilangan atau pembunuhan. Walau begitu, saya percaya itu (penghilangan atau pembunuhan) terjadi untuk beberapa hal khusus.
Lalu, apa yang Anda peroleh dari kunjungan ke Papua?
Saya pikir situasi di Papua amatlah serius. Lingkungan yang berat dan intensitas politik di sana membuat para pembela HAM amat sulit untuk bekerja. Di sana masih berlangsung operasi keamanan yang dilakukan militer dan polisi. Di situlah para pembela HAM bertanggung jawab bukan saja untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM, tapi juga untuk melaporkan pelanggaran. Usaha untuk meliput dan melaporkan ternyata menimbulkan masalah bagi mereka.
Situasi seperti ini masih terus berlangsung. Apa yang Anda simpulkan dari kasus-kasus ini?
Saya melihat adanya pola tertentu berdasarkan beberapa kasus yang menjadi fokus perhatian saya. Jadi, saya harus bersuara untuk meyakinkan bahwa perlu segera dilakukan investigasi. Saya telah menyampaikan laporan ini kepada pemerintah dan menunggu tanggapan pemerintah dalam waktu dekat. Saya yakin sumber-sumber yang memberikan laporan tersebut dapat dipercaya sehingga saya membuat kesimpulan seperti ini.
Pernahkah merasa khawatir temuan Anda akan ditolak pemerintah?
Saya tidak berpikir begitu. Kami saling mengerti. Lagi pula, pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB mesti menerimanya dan mengerti tanggung jawabnya untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan PBB.
Bagaimana reaksi pejabat pemerintah atas situasi di Papua?
Pemerintah begitu terbuka untuk mendengarkan saya. Dalam kasus tertentu, pemerintah meragukan adanya jurang dalam melindungi para pembela HAM. Tapi saya meminta agar ada kemauan untuk menerima laporan ini. Saya juga mengharapkan ada usaha untuk menutup atau menjembatani jurang itu.
Siapa saja pejabat yang telah Anda temui?
Saya bertemu banyak pejabat berwenang, menteri, pejabat militer. Mereka bersikap terbuka dan amat bekerja sama dalam memfasilitasi semua pertemuan, termasuk pertemuan saya dengan para pembela HAM. Sejauh ini saya tidak melihat motif pemerintah untuk mengintervensi pertemuan.
Tapi Anda gagal bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?
Ya, saya memang tidak mendapat kesempatan bertemu dengannya, meski tujuan utama saya bertemu dengan Presiden. Harapan saya tentang keinginan bertemu dia dapat disampaikan menteri-menteri kabinetnya.
Anda juga bertemu dengan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN)….
Sayangnya, tidak. Mereka mengatur saya bertemu dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada awal kunjungan saya. Saya juga bertemu dengan Kepala Staf Angkatan Darat. Dia amat terbuka mendengarkan saya. Terhadap rekomendasi saya dia mengatakan akan memperhatikannya. Saya mau rekomendasi itu diimpelementasikan agar terjadi perubahan di level bawah.
Bagaimana rekomendasi itu kelak dikeluarkan?
Secara prosedur, laporan ini akan kami sampaikan kepada pemerintah untuk mendapatkan tanggapan. Kemudian saya serahkan kepada Dewan HAM PBB. Setelah itu akan dikeluarkan rekomendasi resmi dan meminta pemerintah menindaklanjuti rekomendasi. Tentu saja kami akan berhati-hati betul sehingga dapat diterapkan oleh pemerintah. Saya akan membuat rekomendasi khusus dan memastikan rekomendasi tersebut harus bisa membawa perubahan secara nyata di masyarakat.
Hal-hal apa yang akan masuk dalam rekomendasi Anda?
Antara lain, koordinasi antarlembaga HAM. Mereka bertanggung jawab untuk mengambil satu langkah yang tepat guna memperbaiki sistem koordinasi. Saya akan membuat rekomendasi untuk memfasilitasi proses perbaikan sistem koordinasi. Lalu, perlunya meningkatkan kapasitas lembaga sehingga fungsi mereka dapat lebih dipercaya. Komnas HAM adalah satu contoh. Menurut saya, Komnas HAM harus memperbaiki dan meningkatkan kapasitas mereka. Juga, jaringan kerja mereka serta koordinasi antara Komnas HAM di Jakarta dan Komnas daerah.
Jika pemerintah gagal menjalankan rekomendasi PBB, apa konsekuensinya bagi pemerintah Indonesia?
Saya selalu berusaha mendorong pemerintah mempertimbangkan rekomendasi. Dan saya berharap Dewan HAM PBB juga konsisten menjalankan prosedur (rekomendasi) sehingga ada dampaknya bagi pemerintah yang melaksanakan rekomendasi tersebut.
No comments:
Post a Comment