Sunday, June 03, 2007

Murah Meriah, Harga Obral - Nyawa Warga Indonesia

Awicaks

Belum lagi terpuaskan rasa keadilan saya dengan jawaban-jawaban pengecut Panglima TNI tentang tertutupnya proses peradilan para pelaku penculikan aktivis pada penghujung rejim Soeharto, Tim Mawar, hati dibuat mendidih oleh kebrutalan perlengkapan Negara dalam "berdialog mencari solusi" dengan warga. Di Pasuruan empat nyawa melayang begitu saja, bahkan seorang anak berumur empat tahun harus terbaring di rumah sakit dengan luka parah akibat tembakan peluru tajam dari senjata pasukan elit TNI Angkatan Laut, Korps Marinir. Tidak dibutuhkan telaah mendalam dan tajam tentang kejadian ini, juga terhadap komentar apologetik Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Warga sudah terlalu cerdas untuk mengabaikan pernyataan-pernyataan pengecut petinggi negeri. Warga mahfum bahwa para petinggi negeri memang lebih pusing melindungi citra dan kedudukannya daripada berdiri tegak dan sikap ksatria mempertanggungjawabkan sikap, tindakan dan kepemimpinannya yang telah melukai warga.

Kekacauan dan tumbukan struktur kuasa atas tanah memang merupakan pangkal banyak peristiwa keji, perampasan hak-hak dasar warga oleh perlengkapan Negara guna dipersembahkan kepada para juragan penyedia investasi. Orang-orang yang digaji dari pajak (meski sebagian berasal dari utang Negara) dan seharusnya bertanggung-gugat kepada warga senantiasa menggunakan Pasal 33 UUD 1945 untuk menegakkan klaim Negara atas tanah, tak peduli apakah warga memahaminya atau tidak. Maka tak perlu heran dengan angka mentakjubkan yang menunjukkan bahwa 70% lahan di atas pulau-pulau Indonesia secara hukum dikuasai oleh Departemen Kehutanan, terlepas apakah di atas tanah itu masih terdapat hutan, hutan yang gundul atau bukan hutan sama sekali. Status Hutan Negara merupakan senjata pamungkas Negara dalam menghadapi klaim-klaim kuasa atas tanah warga yang turun-temurun dengan merujuk hukum adat setempat. Tumbukan struktur penguasaan atas tanah pada akhirnya menjadi warna khas penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Tingginya laju demografik Indonesia menjadi muasal ketegangan dan benturan sosial dan politik yang tidak pernah diselesaikan dan dituntaskan oleh pengurus Negara, karena prioritas mereka adalah menjamin tersedianya sumberdaya publik yang mudah dan murah untuk mendorong laju penanaman modal di sekujur pulau-pulau.

Saya paham bahwa aparat Marinir yang dengan kemarahan meleda-ledak menyapu warga dengan senjata otomatiknya tidak memahami muasal kekacauan dan tumbukan penguasaan atas tanah. Mereka ibarat algojo yang patuh kepada perintah tuannya. Marinir adalah pasukan elit, atau pasukan yang memiliki kemampuan istimewa dengan imbalan hak-hak istimewa, berbeda dari prajurit biasa. Namun bobroknya struktur dan mentalitas penyelenggaraan Negara membuat orang-orang terlatih yang sedianya bertugas menjaga keamanan dan keselamatan Negara itu lebih sering digunakan untuk mengawal juragan-juragan, penjadi penjaga keamanan tempat-tempat hiburan malam, dan tidak jarang terlibat dalam tindak-tindak kriminalitas. Yang menjadi pertanyaan saya, apa yang ada di benak orang-orang yang darah dingin itu membunuhi warga di Pasuruan itu? Atau memang mereka tidak berpikir, tetapi hanya bertindak sesuai perintah, seperti halnya algojo? Apakah mereka kemudian merasakan kepuasan batin luarbiasa ketika melihat warga-warga bersimbah darah, kelojotan meregang nyawa di hadapan mereka? Apakah mereka dengan bangga menghadap atasan dan melaporkannya dengan sikap gagah?

Yang lebih membuat darah saya mendidih adalah kepengecutan para pemimpin aparat-aparat bengis itu. Pernyataan maaf palsu, yang lebih didorong semangat menyelamatkan citra dan kedudukan, diumbar dengan kemasan yang menganggap bahwa warga Indonesia adalah warga bodoh yang bisa begitu saja menelan argumen mereka. Apakah karena jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 220 juta jiwa sehingga tindakan-tindakan brutal penghilangan nyawa warga menjadi hal yang bukan persoalan besar? Bahwa empat nyawa melayang di Pasuruan porsinya jauh di bawah nol koma nol nol satu persen dari total populasi Indonesia? Saya kira kita semua tak perlu pusing dengan kepongahan di balik mentalitas pengecut petinggi Negara, karena kita sebagai warga bukan bagian dari komunitas tak bernyali itu. Kita adalah warga yang tangguh, tak pernah lelah menerima rangkaian beban penderitaan yang timbul akibat korupsi pengurus Negara. Kita sebagai warga selalu berhasil mencari jalan keluar dalam menghadapi tekanan-tekanan kehidupan yang tidak (akan pernah) dirasakan oleh para petinggi Negara. Pusing apa dengan mereka semua? Biar saja mereka semua sibuk melakukan pesta masturbasi tanpa malu di hadapan khalayak, memuaskan diri mereka sendiri, bahwa mereka berhasil membodohi warga sambil menyelamatkan kedudukan dan citra yang hanya mereka sendirilah yang meyakininya.

Ini memang negeri obralan. Kekayaan alam dijual mentah, murah, obral dan tandas tak bersisa. Nyawa warga pun murah meriah. Hukum sama sekali tidak ada manfaatnya bagi warga kebanyakan. Ia diciptakan dan digunakan hanya untuk melindungi kuasa-kuasa modal serta citra para petinggi Negara. Mungkin itu sebabnya pepatah "mati satu tumbuh seribu" begitu populer dikumandangkan para petinggi Negara. Pecat buruh satu, masih panjang antrian orang yang butuh pekerjaan. Bunuh satu warga, untuk menjaga citra bahwa Negara ini menjalankan tugasnya dalam menjaga keamanan. Bunuh pula beberapa warga agar aliran anggaran dapat dipertahankan atau kalau perlu ditingkatkan lewat pos-pos penanganan ancaman keamanan dalam negeri pada anggaran negara. Beri warga label separatis atau teroris agar kenaikan pangkat perwira lebih bergengsi dan bukan sekedar proses administratif belaka karena dilakukan di wilayah-wilayah krisis atau wilayah konflik. Murah nian nyawa warga Indonesia.

3 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: