Friday, June 01, 2007

Pilkada - DKI yang Keras, Sekeras Uangnya

Awicaks

Sarwono adalah bagian sejarah politik masa lalu. Ia survive melewati hiruk-pikuk politik di masa Orde Baru dan setelah orde itu tumbang dengan citra yang konsisten, bersih dan santun. Kini ia mencoba memasuki satu arena demokrasi pro-pasar bebas, yang serba tergesa, penuh kemasan citra pariwara, dengan ciri penting derasnya arus-kas dan banjir uang, baik yang sekedar janji maupun yang berupa uang keras, dari saku-saku berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pemenangan kandidat Gubernur DKI Jakarta.

Beredar kabar, bahwa ia adalah satu-satunya bakal calon yang bertahan tak mau melibatkan uang untuk dapat lolos proses pencalonan. Padahal ia tidak didukung oleh partai-partai mayoritas (di parlemen provinsi), melainkan hanya oleh partai-partai gurem yang hingga saat ini masih sibuk saling menjajaki satu sama lain, sambil terus menjumlahkan diri agar bisa melewati ambang batas minimal yang ditentukan. Sebuah tekad yang harus diberi hormat, tapi begitu memilukan ketika kita melihat kenyataan.

Sulit membayangkan terjadi satu keajaiban seorang calon yang menolak larut dalam arus adab politik yang berlaku dapat lolos dari cakar-cakar rakus yang ganas pada semua proses. Baik di proses pencalonan, kampanye hingga ke pemilihan. Sulit juga membayangkan, apa pun hasilnya, pilkada DKI yang bebas dari potensi ancaman kekerasan massa di seluruh tahapan prosesnya. Ingat, karakter politik DKI yang serba preman, serba jawara dan serba main ancam. Sungguh sulit membayangkannya. Ingat juga nilai pertaruhan uang (kerjas dan janji) yang dilibatkan di dalamnya.

Mengharapkan warga DKI menggunakan akal sehat sulit diharapkan. Saya harus jujur mengatakan ini. Semua serba uang. Sosok bersih dan santun jadi tidak relevan, ketika kemasan citra menjadi panglima, dan ketika derasnya arus-kas begitu luas tersebar hingga sulit diikuti rekam-jejaknya. Siapa pun dia, tokoh agama, tokoh masyarakat, politikus, akademisi, aktivis politik, aktivis gerakan sosial, juragan-juragan di belakang bisnis bawah tanah, pelaku-pelaku ekonomi-politik (pada tataran yang paling kasar dan bodoh), preman-preman, hingga ke gelandangan ber-KTP, agaknya sudah tak punya waktu untuk mempertimbangkan seperti apa seharusnya sosok orang yang memimpin wilayah DKI dan Jabodeptabek (the Greater Jakarta) ke depan. Semua mengidap rabun dekat. Apa yang dilihat di depan mata, itulah yang diraup. Yang jauh, nanti dulu. Lihat bagaimana putaran bola dunia bergerak....

Namun, jika orang seperti Sarwono bisa lolos penapisan calon, menurut saya segala sesuatu ke depannya bisa jadi sulit ditebak. Segala argumen tentang materialistik par excellence yang menjadi ciri sosial-budaya warga DKI bisajadi bubar-jalan, terutama jika ditabrakkan dengan semakin sulitnya hidup di ibukota. Menurut saya, apabila calon seperti Sarwono dapat meloloskan dari ambang-batas, ia bisa menjadi sinyal kuat lelahnya warga menghadapi pemerintahan kota yang korup, mewah, wangi dan beringas, meski di sisi lain kebutuhan jangka-pendek berupa uang keras tak dapat ditampik. Di sinilah letak ambiguitas pilihan jika bangun kepercayaan tentang demokrasi pro-pasar bebas ternyata jadi tak rasional ketika menghadapi hiruk-pikuk kehidupan sosial penuh tekanan di negeri ini. Aceh sudah membuktikannya. Apakah Sarwono bisa?

1 Juni 2007

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: