Maria Hartiningsih
Saat ini manusia memang berada di tengah peralihan sejarah yang menentukan. Dunia yang diciptakan oleh lebih dari tiga abad modernisasi ini telah mengirimkan sinyal bahaya menyangkut kompleksitas interaksi ekologi yang menopang kehidupan di Bumi.
Kegiatan manusia, khususnya dalam hal produksi dan konsumsi energi untuk menciptakan berbagai sarana yang menunjang "kenyamanan" hidup telah membuat atmosfer Bumi seperti bejana raksasa berisi gas-gas buangan yang volumenya semakin besar.
Para ahli menyebutnya gas buangan itu sebagai gas-gas rumah kaca, terdiri dari berbagai jenis gas; antara lain, metana (CH4) dan nitrogen oksida (NO), tetapi komponen terbesarnya adalah karbon dioksida (CO2). Lama usia satu kilogram gas dalam atmosfer, seperti pernah dipaparkan Prof Emil Salim, adalah 50-200 tahun untuk karbon dioksida, 12 tahun untuk methana, 114 tahun untuk nitrogen oksida.
Emisi gas-gas rumah kaca itu membentuk selubung yang semakin tebal, membuat temperatur di Bumi naik, diprediksi mulai satu sampai tiga derajat Celsius pada abad ini dan berpotensi mengubah pola cuaca secara ekstrem. Bencana sudah di depan mata, kalau manusia tidak mengubah cara hidupnya.
Begitulah bahasa sederhana dari inti laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tentang dasar sains perubahan iklim yang dirilis di Paris baru-baru ini.
Sebagian gejalanya sudah tampak. Banjir yang makin hebat dan kekeringan berat, ledakan penyakit-penyakit yang timbul melalui vektor seperti malaria, demam berdarah, dan flu burung, hasil panen merosot, kelaparan, malnutrisi, rusaknya ekosistem laut dan punahnya sekitar 15-40 persen spesies keragaman hayati yang mendukung keberlanjutan kehidupan.
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi negara berkembang. Situasi kemiskinan dengan berbagai dimensinya diperburuk karena dampak perubahan iklim yang membutuhkan biaya tinggi untuk memperbaikinya, sementara upaya memperbaiki itu harus berkejaran dengan kerusakan yang susul menyusul di tempat lain.
Menurut laporan IPCC, Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan selatan, sebaliknya peningkatan curah hujan di utara. Penurunan curah hujan membuat sistem tanam rusak dan krisis air bersih serta infrastruktur pembangkit listrik tenaga air. Adapun peningkatan curah hujan berpotensi menjadi ancaman banjir.
Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino kembali menjadi faktor pendorong kebakaran hutan. Sekitar 9,7 juta hektar hutan hancur akibat kebakaran tahun 1997/1998.
Konvensi perubahan iklim
Seorang panelis dalam Diskusi Panel Kompas "Climate Change" mengemukakan, isu utama dalam mengantisipasi perubahan iklim global adalah bagaimana menjaga agar sistem iklim Bumi tidak memburuk. Perhatian dunia saat ini banyak ditujukan untuk mengurangi emisi CO2.
Para wakil pemerintah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk panel untuk membicarakan isu itu. Prosesnya cukup panjang sebelum melahirkan Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).
Konvensi Perubahan Iklim merupakan salah satu komitmen dalam Earth Summit (KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1994.
Tujuan utama Konvensi itu adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim.
Tingkat tersebut harus dicapai dalam suatu kerangka waktu yang memungkinkan ekosistem beradaptasi secara ilmiah dengan perubahan iklim dan memberi kepastian produksi pangan tidak terganggu, serta memungkinkan pembangunan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan.
Para perunding di KTT Bumi tidak menerjemahkan prinsip- prinsip tersebut ke dalam suatu rumusan mengenai target yang harus dicapai negara industri yang bersifat mengikat secara hukum karena penolakan Amerika Serikat.
Sebagai kompromi, dirumuskan beberapa kewajiban. Antara lain, negara industri secara kolektif wajib menurunkan emisinya sebesar lima persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012.
Target emisi (5 persen) dan periode komitmen pertama (2008-2012) itu yang disepakati dalam Konferensi para Pihak (COP)-3 di Kyoto tahun 1997, yang mengadopsi Protokol Kyoto, diberlakukan mulai tahun 2004. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004.
Soal penurunan emisi untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca sebenarnya masih diperdebatkan. Dalam laporan penilaian IPCC tahun 1991 dinyatakan, emisi gas rumah kaca harus turun minimal 60 persen dari emisi tahun 1990.
Tata sosial-ekologis
Indonesia, menurut penelitian Wetlands International, berada di posisi ketiga setelah AS dan China dalam soal emisi CO2, dengan sumbangan terbesar dari sektor hutan. Greenpeace "menobatkan" Indonesia sebagai perusak hutan nomor satu di dunia.
Definisi seperti ini membuat model konservasi menjadi panglima dan menyebabkan komunitas rakyat yang tinggal di kawasan hutan terancam aksesnya untuk mendapatkan sumber penghidupan. Padahal, yang menyebabkan kerusakan adalah kegiatan ekonomi berbasis hutan berskala besar yang didukung kebijakan pemerintah.
Seorang panelis mengemukakan, penggundulan hutan di negara berkembang menyumbang 1.700 juta ton CO2 per tahun atau seperempat dari emisi global gas rumah kaca. Jumlah itu tidak seimbang dengan upaya menyerap karbon melalui penanaman hutan aforestasi (A) dan reforestasi (R) yang diharapkan hanya 30 juta ton per tahun.
Ia berpendapat, lebih utama mencegah deforestasi (D) ketimbang melaksanakan aforestasi dan reforestasi. Ia mempertanyakan mengapa Protokol Kyoto dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) hanya mengizinkan A dan R, tetapi menolak D. "Apakah itu terkait dengan masalah insentif ekonomi yang kurang menarik atau ada agenda politis di baliknya?" ujarnya.
Ide mengurangi emisi dengan mencegah deforestasi dari negara berkembang dilontarkan di Montreal tahun 2005. COP-13 diharapkan sudah membuat keputusan tentang bagaimana melaksanakan pengurangan emisi.
Sebagai negara tropis yang memiliki hutan tropis yang terluas ketiga di dunia, Indonesia berpeluang memanfaatkan pasar yang bermunculan. Namun, harus ada kebijakan jelas mencakup penggunaan dan pemilikan lahan, pengelolaan hutan berkelanjutan dan kemampuan inventarisasi hutan dengan cadangan karbonnya.
Perundingan tentang perubahan iklim selama ini terlalu terfokus pada ekonomi dan teknologi dan melupakan soal manusia serta tatanan sosial-ekologis. Begitu kritik salah satu panelis. Kesepakatan untuk menghambat laju pemanasan biosfer, menurut dia, tidak serta merta mengandung pemecahan sosial ekologis Bumi.
Ia mengamati, dari konteks sosial-ekologis dalam satu generasi terakhir ini, pengurasan sumber-sumber energi primer tidak ditaruh dalam sebuah kerangka anggaran konsumsi energi untuk memenuhi syarat kualitas sosial-ekologis jangka panjang. Juga tak ada ketentuan publik tentang syarat-syarat sosial ekologis dari pertumbuhan ekonomi.
Konsep ekologi kepulauan tak pernah menjadi referensi awal dalam membuat perencanaan, dan kesejahteraan sosial-ekologis belum menjadi tujuan utama.
Oleh karena itu, tata konsumsi energi merupakan syarat endogen perbaikan sosial-ekologis yang akan memunculkan model politik publik yang berbeda. Sampai di sini, persoalannya menjadi jauh lebih kompleks.
No comments:
Post a Comment