Warga Tak Mampu Khawatir Tak Bisa Sekolahkan Anak Mereka
Kompas - Humaniora, Sabtu, 16 Juni 2007
Jakarta, Kompas - Bagi warga miskin di Jakarta dan sekitarnya, sekolah ibarat barang mewah. Terlebih ketika akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah baru, karena sebagai besar di antara mereka tak punya dana cadangan yang dapat disisihkan untuk pendidikan.
Dihadapkan kondisi seperti itu, mendaftarkan anak ke sekolah menjadi semacam ritus yang amat menakutkan. Bagi warga miskin, lembaga pendidikan tidak bisa diharapkan banyak akan bisa mengubah masa depan anak- anak mereka.
Trisna Budiwarto (40), warga Petamburan, Jakarta Barat, termasuk yang menghadapi tahun ajaran baru dengan seorang anak yang harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama tanpa tabungan sepeser pun. "Anak saya mau masuk SMP duitnya belum kelihatan. Jangankan tabungan, yang ada cuma tagihan," ujarnya, Jumat (15/6).
Trisna lalu memperlihatkan tagihan rekening air selama beberapa bulan sebesar Rp 900.000 dan tunggakan rekening listrik tiga bulan. Dia berlangganan air bersih sewaktu masih bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, beberapa tahun lalu.
Setelah kehilangan pekerjaan itu selama tujuh tahun, terpaksa Trisna bekerja sebagai pedagang air minum kemasan di Tanah Abang untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Trisna berjualan pada malam hari dan istrinya saat siang hari.
Diliputi rasa waswas
Demikian pula Sumiati, warga Cilandak, Jakarta Selatan. Dia tidak punya tabungan sama sekali dalam bentuk apa pun. Anak tertuanya, Putera, baru saja lulus SD dan sudah waktunya melanjutkan ke SMP.
Dia memang belum tahu anaknya akan bersekolah di mana dan berapa biaya yang dikeluarkan. Sumiati masih menunggu dengan waswas hasil tes yang jadi syarat untuk masuk ke SMP negeri.
Akan tetapi, tetap saja dia harus menyiapkan sejumlah uang untuk buku pelajaran, seragam sekolah, peralatan tulis, bahkan sumbangan awal jika nanti terpaksa bersekolah di swasta.
Menyiapkan dana keperluan sekolah itu bukan perkara mudah bagi Sumiati yang hanya mengandalkan pendapatan suaminya sebagai kuli bangunan harian, dengan upah Rp 50.000 per hari. Uang itulah untuk kebutuhan sehari-hari empat anggota keluarga tersebut, termasuk uang kontrakan rumah petak yang mereka tempati saat ini. "Pernah dua minggu suami saya tidak ada pekerjaan sama sekali. Wah, jangankan untuk keperluan sekolah, makan saja bingung," katanya.
Mereka sesungguhnya sudah paham akan arti penting bersekolah. Setidaknya, berpandangan melalui sekolah ada harapan agar masa depan anak-anaknya akan lebih baik dan kemudian dapat membantu keluarga.
Trisna dan Sumiati, misalnya, berupaya sedapat mungkin agar anak mereka terus bersekolah. Biasanya, jika ada kebutuhan biaya sekolah yang benar-benar mendesak, mereka mencari pinjaman. "Kalau enggak dapat, minta ke sekolah agar bisa mencicil atau nunggak dulu. Setelah itu, uang dapur dikurangi sedikit- sedikit. Ya, yang penting ada nasi aja," kata Sumiati. (ine)
No comments:
Post a Comment