Saturday, June 16, 2007

Saat Warga Tak Mampu

Indira Permanasari

Kompas - Berita Utama, Sabtu, 16 Juni 2007

Yana (39) seperti tercekat. Warga Bambu Apus, Kabupaten Tangerang, Banten, ini bagai kehilangan perbendaharaan kata-kata begitu diajak berbicara soal pendidikan dan masa depan anak-anaknya.

Nuraini (14), putri keduanya yang sudah menyelesaikan pendidikan setara SD di sebuah madrasah ibtidaiyah atau MI setahun lalu, hingga kini belum juga bisa melanjutkan ke sekolah menengah pertama atau sederajat.

"Saya ngeri mendaftarkannya ke sekolah. Takut," kata Yana.

Jangankan bisa mendaftarkan anaknya, ijazah tanda kelulusan Nuraini dari sebuah madrasah pun hingga kini masih tertahan di sana. Yana dan suaminya, yang saat ini bekerja sebagai penyapu jalan, belum juga mampu menebus ijazah anaknya. Uang Rp 150.000 masih terlalu besar bagi keluarga ini.

Tahun lalu, Yana sebetulnya sempat bertanya ke satu SMP swasta tak jauh dari tempat tinggal mereka terkait biaya masuk. Ketika mendengar angka Rp 580.000 dan hanya dapat dicicil empat kali, Yana pun mundur teratur.

"Astagfirullah ... duitnya dari mana? Tabungan? Untuk hidup sehari-hari saja sulit, bagaimana mungkin punya tabungan," kata Yana tanpa ekspresi.

Ia dan suaminya bukan tak sadar arti penting pendidikan, yang oleh para pakar di negeri selalu didengung-dengungkan sebagai sarana utama terjadinya mobilitas sosial. Buktinya, putri pertama mereka, Nuryani, sempat menamatkan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan akuntansi. Itu dimungkinkan karena waktu itu sang ayah masih kerap diminta menjadi kernet truk dengan pendapatan Rp 50.000 sekali jalan. Saat ini, seiring usianya yang kian menua, sang ayah yang menjadi tonggak ekonomi keluarga itu cuma menjadi penyapu jalan.

"Honor dari pemerintah per bulan sekitar Rp 450.000," kata Yana, yang kini kian risau karena Nuryani pun tak kunjung dapat pekerjaan.

Lain lagi kisah Minatin (41). Wanita beranak lima ini nekat memasukkan anak-anaknya ke satu SMP swasta. Padahal, ia hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan minuman dan kue-kue di rumah kontrakan mereka, sementara sang suami menjadi pengamen. Penghasilan mereka praktis hanya cukup untuk bertahan hidup sehari-hari. Tak ada yang bisa ditabung.

Akan tetapi, karena kenekatan Minatin, tiga anaknya—dalam rentang waktu berbeda—pernah menikmati bangku SMP. Namun, ketika tidak bisa mencicil uang gedung dan menunggak iuran bulanan, anak-anak itu pun satu per satu keluar dari sekolah. Bahkan, anak keempatnya hanya bisa sampai di bangku kelas V SD. Adapun anak kelima mereka, yang telah berusia 6,5 tahun, hingga kini belum juga didaftarkan ke SD. Lupakan TK.

Di wilayah pinggiran DKI Jakarta, institusi pendidikan dasar (SD/SMP sederajat) memang belum sepenuhnya membebaskan biaya pendidikan. Bahkan, banyak sekolah masih memungut iuran bulanan (baca: sumbangan pembinaan pendidikan alias SPP), sekalipun mereka telah mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat. Dana BOS yang digulirkan pemerintah sejak dua tahun lalu tersebut besarannya masing-masing Rp 254.000 per tahun bagi siswa SD dan Rp 354.000 per tahun bagi siswa SMP.

Di sejumlah sekolah, seperti SD Negeri Pondok Cabe Udik 03 Tangerang dan SD Negeri 03 Depok—untuk sekadar menyebut sedikit contoh—siswa baru masih dikenai "sumbangan sukarela" sebesar Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Adapun di tingkat SMP, lebih besar lagi. SMP Negeri 1 Pamulang, misalnya, tahun lalu saja memungut sumbangan awal sekitar Rp 2 juta. Dan, itu semua belum termasuk iuran bulanan, uang buku paket, dan aneka kebutuhan mendadak lainnya.

Negeri jadi tumpuan

Sementara di Ibu Kota, meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggelontorkan dana tambahan untuk mendampingi BOS, yakni apa yang mereka namakan bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk tiap siswa SD Rp 600.000 per tahun dan siswa SMP Rp 1,2 juta per tahun, namun tak berarti semua sekolah akan meniadakan sama sekali berbagai pungutan.

Kendati demikian, bagi mereka yang bisa masuk sekolah negeri, paling tidak—kecuali di sekolah unggulan—biaya pendaftaran, pungutan awal tahun, dan iuran bulanan alias SPP dipastikan tidak ada.

Oleh karena itu, Haryanti (35) amat berharap putrinya, Hanifah (12), bisa diterima di SMP negeri. "Kalo die bisa sekolah dan terus hingga ke jenjang nyang lebih tinggi, entar die bisa dapat pekerjaan yang lebih bagus," kata Haryanti, warga Betawi asli yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan.

Padahal, bagi warga miskin, pendidikan masih diyakini menjadi tumpuan harapan bagi mereka untuk keluar dari lembah kemiskinan. Agar kelak mereka hidup tidak hanya untuk hari ini saja.

Jika harapan itu kandas, pendidikan yang seharusnya bisa mengangkat status sosial anak tidak mampu setara dengan anak dari keluarga berkecukupan, atau anak buruh asongan setara anak bankir, cuma ada dalam konsep-konsep muluk yang jauh dari realitas sehari-hari.

Pada kenyataannya, anak-anak kelas pekerja tetaplah anak-anak pekerja dan kelak akan menjadi pekerja, anak buruh akan menjadi buruh, dan anak penganggur sangat boleh jadi kelak menjadi penganggur pula. Sungguh menyedihkan!

Repost Kompas Cetak

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: