Awicaks
Kepala rasanya mau meledak mendengarkan kecanggihan orang-orang yang menyebut diirnya aktivis organisasi masyarakat sipil di negeri pulau-pulau ini. Pamer pengetahuan tentang ini itu, kefasihan memaparkan hal-hal teknis, detil dan rada komprehensif mewarnai perdebatan-perdebatan di antara mereka. Tak lupa pamer pengalaman bertandang ke negeri lain dan memaparkan bagaimana situasi di sana punya tali temali dengan situasi di sini. Luarbiasa.
Apa sesungguhnya yang mereka lawan? Apa sesungguhnya yang ingin mereka lakukan? Untuk apa, dan untuk siapa? Pada akhirnya pertanyaan sederhana itu yang mengunci kekesalan saya.
Maka ketika orang-orang itu bicara tentang bahaya teknologi nuklir diterapkan di Indonesia yang bangkrut tata-pendidikannya, yang korup jajaran bikrokrasi dan kalangan politiknya, serta cenderung cari duwit receh untuk masuk kantong sendiri, saya pun berkilah.
"Apakah analisis serupa tidak berlaku untuk hal lain? Migas? Perkayuan? Pertanian? Perlistrikan? Manufaktur dan barang-barang konsumsi? Transportasi? Apa yang sesungguhnya Anda semua cari?"
Jawaban-jawaban yang diberikan orang-orang itu membuat saya merasa harus tutup mulut. Saya merasa akan membuang waktu percuma untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan orang-orang itu sudah bangkrut. Para pengendali kuasa modal dan politik tak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Dan sisi lain, kandungan pembicaraan orang-orang itu pun tak punya kemampuan membangkitkan kemarahan khalayak luas. Dan yang lebih parah lagi, apa yang ingin (dan akan) dilakukan tidak mengarah kepada suatu situasi akhir penderitaan yang tetap (permanent settlement of suffer).
Apakah dengan mencabut satu frasa dari teks kebijakan negara yang dianggap bisa menjadi alas hukum pagi penguasa modal dan politik untuk berpesta-pora mengenyam laba dari bisnis yang menghisap warga merupakan situasi akhir penderitaan warga yang tetap? Hebat nian. Apakah kemudian pihak-pihak yang merasa punya prospek mengeruk laba akan terhambat jika frasa tersebut memang dicabut? Indahnya dunia ini.
Saya pun makin kecut menyadari betapa arah berpikir para pembela warga lebih berkutat pada situasi ad-hoc. Tanpa efek jera. Tanpa situasi tetap yang memaksa para pengendali kuasa untuk tidak berani (baca: tidak berani!) mencoba-coba petualangannya di masa depan. Agaknya memang butuh satu regu baru yang pikirannya belum tercemar kerangka-kerangka kerja keprograman yang begitu canggihnya, yang hingga saat ini mampu menekuk artikulasi visi yang hebat dan heroik berujung pada lajur-lajur anggaran....
11 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment