Awicaks
Ini hanya soal dua perkara: "benar dan salah" atau "menang dan kalah." Kebenaran belum tentu menang, tidak seperti penutup film-film yang diproduksi Holywood yang selalu menyenangkan. Pada banyak kasus yang salah pun justru seringkali berada pada posisi menang. Belum lagi kita bicara soal nilai dan kriteria apa yang digunakan untuk menilai mana benar dan salah.
Apa yang saya percayai menurut saya adalah kebenaran. Dan saya menjunjungnya sepenuh hati. Dengan keterbatasan yang ada saya selalu berusaha meyakinkan orang-orang di sekitar tentang keyakinan saya. Ada yang mempercayai apa yang saya katakan, ada juga yang tidak mempercayai, bahkan tidak segan-segan menentang dan menantang untuk membuktikannya. Namun tantangan seperti itu tidak pernah mengusik minat saya untuk bersaing memenangkan apa yang disebut kebenaran. Kenapa?
Pertama, ini menyangkut kepercayaan. Seperti saya katakan tadi, mereka yang menerima pendapat dan keyakinan saya memiliki satu hal yang penting: kepercayaan. Jika mereka tidak percaya, tanpa harus lewat arena kompetisi pun mereka tidak akan menerima pendapat saya. Yang kedua, pembuktian satu keyakinan dapat dilakukan lewat proses menjalani kehidupan, tanpa harus dibuat terstruktur sedemikian rupa, untuk mencari satu hasil tak-terbantahkan tentang benar salahnya satu keyakinan. Ketiga, saya adalah manusia pembelajar, yang senantiasa mencari dan belajar, serta tidak pernah takut berubah. Sehingga perubahan keyakinan bagi saya adalah sebuah keniscayaan. Dan itu sifatnya sangat pribadi. Bukan karena saya roboh dalam suatu pertarungan. Karena pertarungan itu pun tidak membuktikan apa-apa selain siasat-siasat adu kuat dan adu kuasa seringkali tidak ada urusannya dengan substansi yang diperdebatkan.
Sejak remaja hingga saat ini saya meyakini bahwa guru paling jujur bagi manusia adalah alam. Banjir adalah banjir. Hujan adalah hujan. Panas adalah panas. Saat melakukan pendakian gunung dulu, misalnya. Ketika menghadapi tanjakan curam adalah tanjakan curam. Pelajaran yang saya petik adalah tentang tujuan pendakian dan kesiapan diri. Alam tidak main-main dengan tanjakan curam. Mendaki gunung bukan untuk menaklukan puncak gunung. Saya punya tujuan yang sangat pribadi tetapi bukan soal menaklukan puncak gunung. Kemudian, kesiapan diri menjadi satu langkah analisis diri yang penting. Jika memang tidak siap, tidak perlu dipaksakan. Tidak perlu juga rasa malu, karena ini bukan soal harga diri.
"Tapi kau tidak bisa menyimpan ilmu dan proses belajar itu hanya untuk diri sendiri," keluh seorang kawan. "Aku rasa orang lain perlu mempelajari hal itu. Semakin luas persebaran proses belajar itu. Pikirkan satu kegiatan road-show untuk menyebarluaskan ilmu itu."
Di situlah persoalannya. Ketika proses belajar yang bersifat sangat pribadi diartikulasikan menjadi kata-kata, saya seringkali mendapati hal itu sebagai sesuatu yang kosong dan tidak ada artinya. Karena orang perlu merasakan sendiri. Itu pun belum tentu orang akan melalui analisis belajar yang sama dengan yang saya lalui. Karena kita memiliki latar sejarah masing-masing, yang berpengaruh terhadap bagaimana pribadi kita tumbuh, bagaimana kita menempatkan diri dalam satuan-satuan sosial yang ada di sekitar kita. Saya sangat menghargai berbagai prakarsa pelatihan pengembangan diri. Saya pun percaya bahwa apa yang diajarkan adalah berdasarkan proses belajar pembuatnya. Tanpa perlu menyebutkan paket-paket belajar yang marak disebarluaskan (lewat siasat dagang, tentu saja) akhir-akhir ini, tujuan mulia menyebarluaskan butir-butir hikmah itu pun terjerembab menjadi komoditas belaka ketika ia dikemas guna menjangkau publik seluas mungkin.
Peradaban dunia, masih menurut saya, sulit menghindar dari komodifikasi, karena ia adalah proses inheren dari satu agama global yang kuat. Agama tersebut, menurut saya, adalah ekonomi neoklasik. Ekonomi neoklasik merujuk pada suatu pendekatan umum di bidang ekonomik yang memusatkan perhatian pada penetapan distribusi harga, keluaran dan pendapatan menggunakan pasar lewat mekanisme penawaran dan permintaan. Perangkat tersebut dioperasikan melalui suatu keadaan hipotetikal tentang maksimalisasi manfaat yang dibatasi pendapatan perseorangan, serta maksimalisasi laba yang dibatasi oleh biaya sebuah perusahaan, berdasarkan informasi yang tersedia serta faktor-faktor produksi yang berlaku[1]. Arus utama ekonomik saat ini adalah neoklasik dalam hal asumsi-asumsinya, paling tidak di tingkat ekonomi mikro[2].
Kelemahan mendasar ekonomi neoklasik adalah bias secara normatif. Dalam masyarakat yang tersihir agama ini, sangat sulit untuk keluar dari tolok-tolok ukur norma yang terbebas dari pengaruh pasar. Saya pun tak menyangkal bahwa saya hidup dan telah menjadi bagian dari agama sejak saya dilahirkan. Proses belajar saya yang telah mengajarkan banyak hal, yang terus menguatkan keyakinan saya, bahwa agama inilah biang keladi dari kemandekan-kemandekan serta ketololan-ketololan yang senantiasa terjadi berulang di sekitar saya.
Pilihan saya jelas. Di satu sisi saya tidak bisa menghindari keberadaan satuan-satuan sosial di sekitar saya. Untuk menghindari tegangan-tegangan tak perlu, saya perlu bergaul dan berbasa-basi. Saya pun tak menampik ketika harus berurusan dengan tolok-tolok ukur kemajuan material yang "dibutuhkan" untuk meraih kebahagiaan. Tetapi hal-hal itu tidak akan pernah menyurutkan pemikiran saya, bahwa hidup saya sebagai bagian inheren tatanan sosial-politik-ekonomik-budaya yang berlaku sungguh menggelisahkan.
Ketika kembali ke bagian awal tulisan ini, saya kira penting merenungkan tentang konsep sekolah unggulan. Juga tentang pola kecenderungan persaingan antarsekolah dalam hal sarana dan kemudahan berikut nilai jualnya di pasar (buruh) dunia. Meresahkan.
28 Desember 2007
Catatan:
[1] Antonietta Campus (1987), "marginal economics," The New Palgrave: A Dictionary of Economics, v. 3, p. 323.
[2] Antonietta Campus (1987) merujuk William Stanley Jevons (1879, 2nd ed., p. 289), The Theory of Political Economy. Italics in original.
No comments:
Post a Comment