Awicaks
Empat hari pertama di Bali adalah kerja keras luar biasa. Bertanggung jawab atas penyelenggaraan pertemuan pemikir-pemikir dari negara-negara selatan dan pemikir-pemikir utara yang pro-selatan lewat Durban Group merupakan kebanggaan tersendiri. Ada sedikit kecelakaan ketika influx peserta tak diundang mengalir di dua hari pertama. Sebagian dari mereka bahkan betah untuk melanjutkan hingga hari ketiga. Baru di hari keempat mereka "tersingkir" dengan sendirinya, karena toh pada akhirnya mereka memang pemikirannay tidak sejalan dengan para anggota Durban Group.
Pertemuan ini sendiri merupakan ajang pembuka bagi pikiran-pikiran kritis dan kegelisahan aktivis perubahan sosial di Indoneisa, yang kemudian dikemas dan dirumuskan-ulang oleh Torry Kuswardono (WALHI) dengan saya lewat Civil Society Organizations (CSO) Forum on Climate Justice. Paling tidak gagasan dasarnya adalah untuk menunjukkan kepada para aktivis dunia bahwa perspektif aktivis gerakan masyarakat sipil Indonesia membaca perubahan iklim sebagai bukti tak terbantahkan bangkrutnya model pembangunan global yang selama lebih dari setengah abad dicangkokkan di negara-negara selatan.
Sirkus kata-kata menjadi tak-terhindarkan. Meski konteksnya pertukaran pengalaman dan pemikiran, pada akhirnya para anggota Durban Group dan tetamunya sibuk bersilat lidah, merumuskan dan menyampaikan rangkaian kalimat dan frasa yang memiliki kekuatan mengunci argumen yang lain.
"We're bunch of middle-class heroes trying to settle crisis facing grassroots community throughout southern countries, but consciously limited ourself in arena we comfortable with, but doesn't necessarily relevant to the crisis itself..."
Beberapa menyampaikan pikiran dan kegelisahan mereka yang spesifik terkait dengan berbagai kasus penderitaan warga akar rumput di negara-negara selatan akibat pelaksanaan paket solusi-solusi perubahan iklim yang dimandatkan Protokol Kyoto. Sebagian lagi mempertanyakan kegunaan Durban Group. Salah seorang dari mereka, aktivis Belanda yang kemudian menikahi aktivis Paraguay, dan kemudian menjadi penghujat nomor satu orang-orang kulit putih, melontarkan kalimat bernada mengejak, "Durban Group is then looked as a monkey wrench, intensively coined great thoughts but fail to mobilize a movement."
Dengan kepala panas saya pun mendebatnya. Bahwa apa yang dimaksud aktivis Belanda itu tentang sebuah gerakan terlalu dangkal bagi kegelisahan-kegelisahan yang mengendap di kepala para aktivis di Durban Group. "If movement is merely interpreted as a direct action, I have to say that we are perhaps the most retarded middle-class enjoying luxury in information technology but fail to bring up enlightened thinking that able to raise critical awareness and spirit of the grassroots community. Without spirit, there shall no be a movement. And movement is far beyond a simple and easy direct action." Aktivis itu terkunci.
Demikian halnya dengan seorang aktivis dari Jerman yang menyampaikan rasa kasihannya kepada orang-orang di Indonesia, lewat organisasi yang ia namakan Indonesia Watch. Saya katakan bahwa cara berpikirnya sangat kolonialis, menganggap para aktivis selatan, terutama Indonesia, sebagai kumpulan orang-orang lumpuh yang bodoh, sehingga membutuhkan kehadiran orang macam dia sebagai dewa penolong. Aktivis itu tersentak dan terkejut dengan respon saya. Ia berusaha mengoreksi sikap dan kata-katanya, tetapi saya tidak memberinya kesempatan.
"We knew better our social and political issues lots better than you do. So, please don't even try to preach and teach us what to do. In the contrary, you should learn from us how to survive during the oppressive Suharto era, and keep moving to carry out intensive regeneration under highly consumptive lifestyle taught by northern world society...."
Lepas empat hari pertama, saya pun mulai memasuki rimba belantara kata-kata yang lebih menjijikkan. Convention of Parties (COP) 13 dari UN Framework for Climate Change Convention (UNFCCC). Bergabung sebagai Penasehat Politik sebuah organisasi pengkampanye lingkungan besar yang bekerja hampir di seluruh pojok bumi, saya mendapat tugas sebagai juru-bicara politik selama COP13/CMP5, bersama seorang rekan dari Jerman. Tugas saya jelas. Terlibat lobi politik bersama tim, terutama terhadap delegasi Indonesia, dan senantiasa siap diwawancarai oleh pewarta, baik nasional maupun internasional.
Sepanjang empatbelas hari kami mulai bekerja sejak pukul delapan pagi, dan kembali ke penginapan rata-rata hampir tengah malam. Dihajar oleh cuaca Nusa Dua yang begitu panas dan kering (yang menurut beberapa sopir taksi sebagai dampak dari kerja para pawang hujan), kami bergerak mondar-mandir dari ruang sidang utama di Bali International Conference Center (BICC) di Hotel Westin, ke Hotel Grand Hyatt tempat penyelenggaraan sidang-sidang sampingn (side events), serta Hotel Ayodya tempat diselenggarakannya sidang paralel oleh Departemen Kehutanan dan Center for International Forestry Research (CIFOR). Awalnya, saya coba bersikap heroik dengan mengendarai sepeda dari hotel satu ke hotel berikutnya. Akibatnya, tubuh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan bahkan cenderung mudah marah.
Tanpa malu-malu saya mulai menggunakan jasa taksi, meski jaraknya tidak terlalu jauh. Tujuannya sederhana, saya ingin menghemat tenaga dan keringat, agar pikiran tetap jernih dan dingin. Mengada-ada? Terserah. Toh bukan hanya saya. Pelan-pelan sepeda-sepeda pinjaman yang disumbang oleh Medco Energi itu pun mulai ditinggalkan orang. Sebagian peserta lebih suka berjalan kaki daripada naik sepeda. Dan sebagian besar, lebih suka bergerak menggunakan taksi.
Sempat selama tiga hari saya tumbang, karena malaria kambuhan datang. Terkapar di kamar hotel, bukan berarti saya tidak bekerja. Saya tetap mengontak kawan-kawan yang hadir di ruang-ruang sidang untuk dapat informasi mutakhir tentang perkembangan proses. Karena setiap saat saya harus siap ditelepon para pewarta untuk diwawancarai. Meski belum sembuh benar, saya sungguh tidak bisa berdiam diri di kamar hotel. Saya pun mulai keluar kandang dan kembali menghadiri sidang-sidang utama serta sidang-sidang sampingan dan sidang-sidang paralel. Memang tak setangguh sebelumnya, karena saya harus tahu diri batas kemampuan fisik yang belum pulih benar.
Selama empatbelas hari itu saya seperti kembali ke masa silam, ketika saya masih mempercayai struktur gigantik organisasi dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sidang-sidang PBB adalah sirkus kata-kata, yang bisa berdampak langsung kepada keberlanjutan hidup warga di lapis akar rumput. Namun dari segi proses, susbtansi kata-kata sudah tidak lagi penting. Ketika diplomasi, atau perang antarnegara menggunakan kata-kata sebagai senjata, dimulai, yang terpikir di kepala para anggota delegasi dan para negosiator adalah, bagaimana memenangkan pertempuran. Jika kata-kata dirasakan tidak cukup, siasat-siasat luar sidang pun digunakan.
COP13/CMP5 yang seharusnya ditutup tanggal 14 Desember 2007 molor satu hari. Delegasi Amerika Serikat (AS) begitu lihainya memecah belah negara-negara utara, dan mengobrak-abrik solidaritas negara-negara berkembang (G77). Baku gertak tak terhindarkan. Tidak ada lagi lobi diplomatik yang elegan. Beberapa diantaranya sudah menggunakan kata-kata yang bernada melecehkan. Bahkan untuk tidak mengurangi kekuatan ekspresi kata-kata, beberapa anggota delegasi menggunakan bahasa asal mereka selama sidang utama. Bahasa Inggeris ternyata telah mengekang para anggota delegasi yang berasal dari negara-negara dimana Bahasa Inggeris bukan bahasa penting.
Konferensi pun ditutup dengan reaksi beragam. Dari kecewa hingga lega. Yang kecewa bukan hanya delegasi AS yang dipaksa oleh negara-negara Uni Eropa dan beberapa negara G77 untuk tidak menghalang-halangi proses perundingan, tetapi juga kalangan organisasi masyarakat sipil, yang kecewa karena tidak ada target yang mengikat yang dihasilkan. Siasat delegasi AS dipandang para aktivis sebagai cara-cara kotor untuk membuat substansi sidang menjadi tidak relevan. Perang kata-kata pun berakhir dramatik. Begitu konferensi selesai, hujan rintik-rintik mulai tiba. (Mungkin para pawang hujan sudah kelelahan. Lagipula, mereka sudah bekerja lewat waktu, karena sidang molor satu hari).
18 Desember 2007
No comments:
Post a Comment