Awicaks
Apa yang bisa saya renungkan dari tahun 2007? Hanya marah yang muncul dalam permenungan saya. Mareh karena saya adalah bagian dari sebuah bangsa pengecut! Bangsa narsistik, sibuk memuji diri sendiri. Bangsa yang canggih mewariskan mentalitas pengemis dan pengiba, dan ketagihan utang untuk terus mengejar (dan meniru) monumen-monumen pembangunan. Monumen pembanguan yang berhasil menciptakan bangsa peniru (epigon) kultur konsumtif terhadap barang dan jasa industrial. Bangsa yang diurus oleh orang-orang yang sibuk mematut-matut diri di depan cermin, dan tak pusing terhadap keselamatan warga.
Yang lebih menyedihkan, mereka yang begitu kepingin disebut pemimpin ternyata tidak menunjukkan sama sekali kemampuan memimpin. Terbongkarnya skandal seks anggota parlemen adalah potret paling pas untuk menggambarkan hal itu. Mereka orang yang dikuasai syahwat. Syahwat kelamin, pun syahwat kekuasaan. Menjadi pemimpin adalah memberi perintah. Ketika perintah diabaikan, ditolak, atau dilawan oleh orang-orang yang diberi perintah, keluarlah keberingasan tak perlu. Keberingasan orang-orang pengecut. Keberingasan orang-orang yang bersembunyi di balik kemasan kuasa, yang tak mau hilang harga diri karena perintah ditolak oleh orang-orang yang diberi perintah.
Maka di bulan Mei 2007 pasukan khusus TNI AL, Marinir, dengan kemasan lengkap seperti akan berperang melawan musuh negara, menghajar warga petani tak bertanah di Pasuruan. Bahkan anak kecil pun tertembus dadanya oleh timah panas senjata otomatis yang dibeli dari uang rakyat. Perkaranya? Warga petani yang telah bergenerasi-generasi menggarap lahan yang tak jelas kuasa milik itu tak mau begitu saja angkat kaki atas perintah petinggi TNI AL, karena perangkat dan aparat negara itu sudah membuat perjanjian dengan sebuah badan usaha swasta untuk suatu tujuan tertentu.
Komnas HAM berteriak lantang. “Itu pelanggaran HAM serius!” Petinggi TNI AL memompa wibawa, berteriak tak kalah garang, “Warga melawan, mengancam kami dengan kekerasan. Situasi dan kedudukan anggota sulit. Itu adalah upaya membela diri!” Sementara aktivis advokasi menuntut penyelidikan lebih lanjut. Apa pun ia, bagi saya adalah pernyataan pengecut luarbiasa. Kepengecutan yang menjadi simbol keperkasaan Suharto dan Orde Barunya, yang melangkah dengan senyum maut khasnya, melambai perlahan di atas jalan mulus tanpa hambatan, yang senantiasa dibersihkan oleh hamba-hamba penjilat dari beragam onak, meski itu hanya seorang penyair kecil.
Argumennya pun sederhana. Uang. Atas nama perbaikan kesejahteraan prajurit, maka angkatan-angkatan di TNI diperbolehkan untuk melakukan program peningkatan pendapatan (income generating). Atas nama kesejahteraan prajurit, kalau perlu di atas keringat, airmata dan darah warga biasa. Kontrak kerjasama dengan perusahaan swasta adalah jalan pintas yang relatif "lebih aman" dibandingkan berbisnis langsung seperti di masa lalu. Kejadian serupa pun terjadi tak berapa lama kemudian. Kali ini hanya beberapa puluh kilometer saja dari Ibukota Negara, Rumpin, Tangerang. Pasukan TNI AU menghajar warga biasa, juga karena masalah tanah. Warga menuntut keberanian Komnas HAM mengambil tindakan.
Kemuakan 2007 pun bertambah ketika kita disuguhi arogansi cacing tak bernyali yang bermain-main dengan kekuasaan, sebelum para cacing itu sungguh-sungguh duduk di tampuk kekuasaan. Kekerasan di IPDN adalah etalase paling sempurna, yang menggambarkan bagaimana birokrat Indonesia itu dicetak. Basisnya adalah kepengecutan. Senior menggunakan hak-hak istimewanya menghajar para juniornya. Jika perlu hingga mati. Tak perlu khawatir, karena sivitas akademika perguruan tinggi tersebut akan melindungi. Dari kisah tentang sakit lever hingga menyuntikan formalin, kalau perlu. Luar biasa.
Begitulah mental birokrat di Indonesia ditumbuhkan. Kekerasan adalah instrumen tak terpisahkan dari kuasa politik yang akan dimiliki ketika mereka nanti duduk di kantor-kantor negara, yang seharusnya adalah kantor-kantor pelayan pemenuhan kebutuhan warga. Warga pun meradang. Mereka yang melek teknologi, yang berakal sehat, menuntut pembubaran IPDN.
Agaknya rekor kepengecutan 2007 tetap dipegang oleh Lapindo Brantas, yang telah merebut prestasi itu pada tahun 2006. Prestasi tersebut tentu saja lebih gemilang di tahun 2007 karena berhiaskan predikat "Orang Terkaya di Indonesia" untuk Aburizal Bakrie. Sungguh tak ada lagi kata yang paling pedas, paling sinis dan paling sarkas yang bisa saya tuliskan di sini. Ketika membaca berita tersebut, yang terbayang di benak bukan bagaimana keluarga Bakrie bergelimang kemewahan, tetapi fragmen potret warga Porong menangis saat kasus mereka dikalahkan di pengadilan ketika menuntut Lapindo Brantas.
Tahun 2007 pun ditutup dengan rangkaian bencana yang memakan korban warga. Warga yang bekerja keras tanpa jaminan perlindungan keselamatan oleh negara mereka. Bencana terjadi di kawasan perbukitan, pesisir bahkan di perairan laut. Selamat datang tahun 2008. Saya berharap kita akan lebih tabah hidup di negeri ini.
31 Desember 2007
No comments:
Post a Comment