Awicaks
Sepanjang dua minggu terakhir rangkaian bencana karena kondisi cuaca ekstrem menjadi penutup tahun 2007. Marah? Gelisah? Kepada siapa? Saya merasa kebal (numb) dengan semua berita bencana. Membaca berita-berita di koran dan internet, angka-angka korban meninggal, kehilangan rumah dan harta benda, serta nilai kerugian tiba-tiba menjadi angka mati. Tidak lagi mampu merangsang imaji. Saya hanya warga biasa. Bagaimana dengan mereka, para petinggi di kantor-kantor negara, yang setiap hari melahap angka-angka itu, saat sarapan, makan siang, makan maupun malam? Negeri yang diurus tanpa kerangka baku mutu keselamatan (safety threshold) ini memang terbiasa menanggapi segala macam bencana secara dadakan alias crash program. Karena tata-kelola (governance) seperti itu, maka pelan-pelan warga –yang malas kritis dan enggan protes- pun menyesuaikan diri, sigap menggalang sumberdaya mereka untuk membantu korban bencana. Tindakan mulia yang justru memanjakan para petinggi kantor negara yang seyogyanya adalah jongos para warga. Indonesia memang negara yang terlalu besar secara fisik. Negara yang terlalu beragam secara kultural, serta sangat beragam dari sudut pandang biogeofisik. Dengan kerumitan tersebut sepanjang lebih dari lima dekade negeri ini diurus secara terpusat, para petinggi kantor negara duduk memegang alat kendali jarak jauh. Kerumitan itu diperparah juga karena konsentrasi pembangunan sepanjang lebih dari empat dekade dipusatkan di Jawa dan Indonesia Wilayah Barat. Tolok-ukur kemajuan lebih bersifat fisik. Jumlah dan panjang jalan, jumlah jembatan, jumlah gedung bertingkat, jumlah rumah sakit, jumlah gedung sekolah, jumlah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), sarana-sarana canggih, dan sebagainya. Ketimpangan demografik tak terhindarkan ketika jangkauan media cepat saji mampu mencapai pusat pengambilan keputusan di rumah tangga dan mendorong kenaikan rangsangan belanja terhadap barang dan jasa yang bukan bagian dari kebutuhan dasar. Maka gelombang urbanisasi sepanjang lebih dari lima dekade menjadi potret rutin negeri ini, yang pada gilirannya mendorong tingginya laju pemiskinan warga perkotaan, kriminalitas di perkotaan, masalah lingkungan di perkotaan dan seterusnya. Apa yang kita bisa harapkan di tahun Tikus ini? Rasanya para petinggi kantor-kantor negara pun sudah kebal dan bebal dengan segala potret penderitaan warga. Kembali kerja bakti seperti biasa? 1 Januari 2008
No comments:
Post a Comment