Saturday, January 12, 2008

"A New Generation Draws the Line" - Ganyang Habis All the Die Harders?

Awicaks

Bill Clinton, bekas Presiden Amerika Serikat (AS) semasa menjabat pernah berujar tentang pentingnya sikap tegas untuk sungguh-sungguh mewujudkan perubahan dengan cara memutus garis generasi di satu negara tiran agar dapat dilahirkan generasi baru yang lebih baik, terkait dengan kebijakan pertahanan dan politik luar negeri AS di Balkan dan negara-negara Eropa bekas blok timur. Jika perlu dengan cara yang paling keji sekali pun. Eyang Kakung Suharto (EKS) pun melakukan hal yang sama, dengan motif dan kepentingan berbeda.

Penjeblosan ke penjara dan eksekusi mati tanpa pengadilan beberapa juta orang yang ter(di)kait(kan) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta Gerakan 30 September (G30S) yang dituduhkan sebagai gerakan yang didalangi partai besar di Indonesia pada awal tahun 60an itu. Bahkan "hukuman" tersebut diberlakukan pula terhadap siapa pun yang punya hubungan dengan "orang-orang PKI", seberapa pun jauh jaraknya. Tumpas kelor, kata orang Jawa. "A new generation draws the line!"

Dampak dan manfaat tumpas kelor bagi rombongan EKS sungguh luar biasa. Perombakan-perombakan yang dilakukannya seakan-akan menjadi hal yang niscaya, tak perlu diperdebatkan (meski tetap saja ada rombongan-rombongan kecil di pinggiran yang bersuara kritis, tapi cuek bebek lah). Tafsir baru konstitusi dan dasar negara menjadi salah satu barang dagangan utama, yang disebarluaskan ke khalayak warga menggunakan pendekatan represif.

Orde Baru memang kinclong pada masa itu, dan ternyata mampu menjadi magnet bagi dana-dana segar utangan dari negara-negara utara yang sudah lama mengincar kekayaan alam negeri ini, baik secara bilateral maupun multilateral, dan bahkan dengan melibatkan lembaga-lembaga keuangan lintasnegara.

Mungkin itu penyebab mandegnya reformasi. Tidak ada "a new generation draws the line." Bahkan orang-orang yang dulu nyaman duduk beramai-ramai di bangku paduan suara para himne Orde Baru bisa diterima begitu saja saat boyong masuk ke paduan suara baru, tentu saja dengan mengubah gaya, kalau perlu menghujat barisan lama mereka. Namun tidak sedikit yang harus merasa hidup di atas bara api panggangan sate karena dihujat terus-menerus oleh banyak pihak, saking kentalnya mereka dengan irama dan gaya paduan suara himne Orde Baru. Juga tidak sedikit dari mereka itu yang cuek bebek dengan segala hujatan, bahkan bisa hidup lebih tenang sepanjang tidak muncul di permukaan.

Seperti grundelan terdahulu, kekuatan status quo pasti menemukan cara mereka untuk (secara mengendap-endap) menunggangi dan kalau berlu menyabotase gelombang perubahan. Salah satunya adalah dengan menggagalkan peluang terjadinya tumpas generasi. Ongkos perubahan yang mereka coba hindari lebih pada menyusutnya zona nyaman dan aman yang selama ini mereka kuasai dan nikmati. Saya kira mereka tidak akan pernah khawatir akan dipecundangi, dibuat bertekuk-lutut hingga ke kedudukan yang paling hina di hadapan publik, karena rasa malu bukan resiko dan biaya yang masuk dalam hitung-hitungan kekuatan status quo di Indonesia.

Tanpa perlu berpretensi menuduh Partai Golkar sebagai kekuatan status quo (karena saya kira itu sudah jadi rahasia umum), saya teringat bagaimana licinnya penuntasan korupsi dana BLBI yang melibatkan Partai Golkar semasa kepemimpinan Akbar Tanjung, lewat pertunjukkan drama yang sangat menghina akal sehat. Akbar Tanjung pun terpaksa menyempatkan diri mendekam di bui untuk beberapa saat, sebagai satu resiko atau biaya yang tak terhindarkan. Pertanyaannya, apakah korupsi dana BLBI berhasil dituntaskan? Rombongan status quo yang bakalan terseret agaknya cukup besar, sehingga sulit berharap ia bisa tuntas. Operasi plastik dari Golongan Karya menjadi Partai Golkar merupakan karya besar Akbar Tanjung mengawal zona aman dan nyaman melewati masa-masa kritikal reformasi. Dan itu dilakukan secara terbuka di depan hidung kalangan pers dan media. Bahkan keberhasilan Akbar Tanjung mendapatkan acungan jempol khalayak luas. Luar biasa.

Ketika negeri amburadul ini sempat dipimpin oleh pendekar dewa mabok, Gus Dur, saya sempat berharap banyak bahwa sikap dan tindakan-tindakan kebijakannya yang dekonstruktif mampu menjadi luka baru yang bisa merangsang tumbuhnya jaringan tubuh baru yang lebih segar, jika menggunakan alegori menyembuhkan luka pada permukaan tubuh. Namun penyakit yang diderita negeri ini bukan yang bersifat akut dan topikal (permukaan), tetapi khronik dan harus melibatkan banyak ahli penyakit dalam. Dekonstruksi yang dijalankan jadi separuh matang, meski harus diakui ada banyak manfaat yang masih tertinggal hingga sekarang. Namun Gus Dur yang memesona khalayak pengamat politik dunia tetapi menjadi momok bagi kekuatan status quo dalam negeri maupun internasional akhirnya harus takluk pada sabotase paling menjijikkan yang pernah terjadi di negeri pulau-pulau ini.

Bisa jadi pilihan dekonstruksi memang tidak tepat untuk negeri yang dikuasai mentalitas tak-kenal-rasa-malu di balik citra bangsa yang ramah. Bisa jadi tumpas kelor adalah jalan keluarnya. Bisa jadi...

12 Januari 2008


Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: