Wednesday, January 09, 2008

Barrack (Perubahan) + Ongkos Perubahan - Status Quo Berjaya

Awicaks

Laki-laki muda cerdas itu memang sosok perlambang perubahan. Pakem arkhais berpolitik pun tak mampu menghentikan aura perubahan yang mengiringinya. Mulai dari sosoknya, kandungan pesan-pesan hingga pandangan dan cita-citanya. Barrak Obama bak Ratu Adil yang dinanti warga kebanyakan Amerika Serikat (AS), yang terjebak dalam pekatnya konsumerisme serta citra arogan negeri adikuasa, sebagai mainan trah kaya dan elit-elit kuasa modal lintasnegara.

Pemilihan presiden AS memang masih jauh. Namun kuatnya harapan warga AS terhadap perubahan yang berwujud, yang simbolnya begitu kuat dibawa Barrak Obama, tak bisa dicegah. Kaum muda memperoleh kendaraan untuk mengartikulasikan kegelisahan mereka. Gerakan masyarakat sipil AS yang biasanya genit mengurusi krisis dan persoalan di negeri lain, terutama dunia ketiga, pun bergairah terlibat dalam ingar-bingar politik domestik. Tingkat partisipasi warga AS dalam berbagai pemilihan umum (voter turn-out), yang biasanya rendah, diperkirakan meningkat tajam dalam pemilihan presiden kali ini, persis seperti pemilihan legislatif terakhir, yang berhasil menjungkalkan perolehan suara Partai Republik.

Anthusiasme warga AS juga tergambar pada riuh rendah pemberitaan media massa AS. Barrak Obama tidak lagi sebuah sosok orang, yang tumbuh dalam keluarga yang pekat kemajemukan ras dan budaya, ia sudah diterjemahkan menjadi sebuah pernyataan kuat warga AS menginginkan perubahan peta politik negeri mereka. Tetapi saya tidak akan bicara lebih jauh tentang politik domestik AS, karena memang tidak mengikuti seksama dan mendalaminya. Saya lebih tertarik bicara tentang keinginan perubahan yang umumnya (selalu) berhasil dijegal oleh kekuatan status quo.

Meski motif pembunuhan Bhenazir Bhutto masih gelap, banyak pengamat dan ahli berkomentar tentang keterlibatan kekuatan status quo. Gelombang tuntutan reformasi tahun 1998 di Indonesia pun tak lepas dari keterlibatan pelaku kekuatan status quo, di berbagai aras, baik terang-terangan maupun lewat penyusupan-penyusupan yang halus. Kekuatan status quo adalah sosok yang senantiasa hadir setiap kali terjadi tekanan gelombang perubahan massif. Apabila kekuatan perubahan berhasil memenangkan pertarugan bukan berarti kekuatan status quo berdiam diri. Sabotase-sabotase mengendap-endap sudah pasti dilakukan untuk menghentikan perubahan yang hakiki.

Apakah Barrak Obama mampu menghindari jegalan kekuatan status quo? Itulah pertanyaan di kepala yang senaniasa mengganggu saya. Yang paling mengganggu adalah peluang terjadinya pembunuhan, seperti yang dialami Bobby Kennedy, adik kandung John F Kennedy, pada putaran pemilihan presiden tahun 1968. Bobby Kennedy juga sosok perubahan, berpihak kepada warga kebanyakan, menerobos pakem-pakem konservatif dan luar biasa populer pada masa itu. Pelaku politik di bawah naungan demokrasi yang erat melekat pada kekuatan modal dan pasar, dan saat yang sama adalah merupakan kekuatan status quo, tidak pusing dengan nilai dan moral sebuah persaingan. Hajar bleh adalah rumus umum yang masih berlaku hingga sekarang.

Kekhawatiran saya bukan tanpa alasan. Saya mulai menulis surat-surat elektronik kepada kawan-kawan aktivis gerakan masyarakat sipil di AS sejak dua minggu terakhir, menyampaikan kekhawatiran saya. Ternyata kekhawatiran tersebut pun sudah muncul di AS. Seorang kawan yang lama tinggal di AS mengatakan, kuncinya ada di US Secret Service. "Jika kekuatan status quo berhasil menyusup hingga ke tingkat pengambil keputusan, sulit menghindari kemungkinan terjadinya hal itu." Saya hanya tercenung mendengar pendapatnya.

Indonesia negara peniru nomor satu, adalah sisi kekhawatiran saya yang lain. "Wong AS yang adalah monumen demokrasi saja bisa melakukan itu, kenapa kita tidak?" Saya pun makin terbenam dalam lamunan. Mudah-mudahan perubahan sungguh-sungguh berwujud.

9 Januari 2008


Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: