Sunday, April 20, 2008

Antara 'Nyinyir' dan 'Sinis'

Awicaks

Terkejut luarbiasa saat saya membaca berita di situs Detik.com tentang konversi hutan lindung di Bintan. Saya mengagumi kemampuan si pewarta yang mampu mengartikulasikan ulang pendapat saya ketika ia mewawancarai lewat telefon. Tetapi saya terkejut luar biasa ketika ia menggunakan kata 'nyinyir' saat saya mengomentari pendapat seorang anggota DPR yang mengatakan bahwa keputusan alih fungsi atau konversi itu telah melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Seingat saya, saya memang menjawab dengan nada sinis, menginformasikan bahwa LSM itu bukan cuma satu entitas tunggal. Ada yang memang murni bekerja untuk mengatasi krisis warga, tetapi ada pula yang sengaja dibentuk oleh para pengurus Negara untuk menciptakan legitimasi bagi keputusan-keputusannya. Saya mengatakan (dengan nada sinis), bisajadi LSM yang terlibat adalah LSM penyedia legitimasi yang pada banyak kasus memang dibentuk oleh para politikus.

Terlepas dari kandungan pendapat saya, persoalan yang tak kalah serius saya soroti adalah soal kualitas dan kemampuan berbahasa si pewarta. Apakah sebegitu parahnya ia sehingga tak bisa membedakan makna antara 'nyinyir' dengan 'sinis'? Karena jika saya 'nyinyir' saya tak perlu menanti ditelefon seorang pewarta untuk menyatakan pendapatnya. Saya akan secara proaktif mengadakan pertemuan pers dan menyalurkan 'kecerewetan' saya terhadap isu yang tengah hangat dibahas berbagai media massa tersebut. Sayangnya, saya tidak perlu merasa harus 'cerewet' atau 'nyinyir' mengomentari isu itu.

Ketika seorang pewarta Koran Tempo menelefon dan menanyakan pendapat saya tentang isu yang sama, saya perlu menjernihkan duduk perkara isu tersebut lebih dulu dengannya.

"Jika Anda menanyakan pendapat saya tentang tindak korupsi atau kualitas anggota DPR, saya bisa memberi jawaban sebagai seorang warga Negara. Tetapi sebagai wakil organisasi, saya kira lebih tepat Anda mewawancarai kawan-kawan dari organisasi lain, seperti ICW, MTI, atau TI Indonesia." Hingga kemudian kami pun bersepakat untuk membahas hanya tentang ketidakkonsistenan pengurus Negara dalam menegakkan status kawasan hutan lindung dan maraknya alih fungsi hutan lindung, sesuai dengan kapasitas saya dan organisasi yang saya wakili.

Hal sama berlaku juga dengan pewarta dari Kompas.com. Kami jernihkan duduk perkaranya lebih dulu agar saya bisa berpendapat sesuai dengan proporsi, kompetensi dan kapasitas saya dan organisasi saya.

Yang saya ingin sampaikan, sikap yang secara sadar saya tampilkan adalah jauh dari tafsir kata 'nyinyir.' Jika saya 'nyinyir' tentu saya akan memuntahkan ratusan peluru kritik, sesuai dengan menumpuknya kemarahan dan rasa frustrasi menyaksikan ketidakpedulian pengurus Negara terhadap keselamatan warga, tanpa mempedulikan kompetensi dan kapasitas saya dan organisasi yang saya wakili.

Awalnya saya ingin mengajukan protes resmi ke Redaksi Detik.com. Tetapi setelah bertimbang lebih jauh serta berkonsultasi dengan tim media di organisasi, saya mengurungkan niat itu berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, bisajadi si pewarta terpeleset dalam menggunakan kata. Karena Detik.com adalah warta digital online yang mengedepankan kecepatan, tentu saja saya sangat maklum bahwa media itu menomorsekiankan akurasi dan kualitas. Karena kecepatan, akurasi dan kualitas adalah kombinasi yang menggambarkan kesempurnaan. Kedua, bisajadi juga si pewarta adalah pemula di bidangnya. Melakukan protes resmi tentu bukan tindakan bijak. Karir yang mungkin ia dambakan bisa hancur karena satu kasus saja. Sehingga pilihan yang saya ambil setelah bertimbang adalah, menegur secara pribadi langsung ke si pewarta.

Hal lain yang jadi pelajaran bagi saya pribadi, apa yang saya ungkapkan lewat saluran publik akan menjadi bola salju yang tak akan pernah bisa saya kendalikan. Akan tampak tolol jika saya berusaha mengendalikan dan mengarahkan bola salju itu.

20 April 2008

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Anonymous said...

dasar nyinyir...