Thursday, April 24, 2008

Paradoks Konsumsi

Awicaks

Orang-orang di Indonesia, tak cuma Jawa, tengah mabok kepayang pada barang-barang dan jasa industrial. Kemudahan mendapatkan barang-barang tersebut membuat kacau urutan kebutuhan dasar perseorangan dan keluarga. Teori Maslow berantakan. Tidak ada lagi yang namanya kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kalau perlu kualitas pangan untuk anak dikorbankan demi membeli sebuah telepon genggam model terbaru. Atau, tunggakan biaya sekolah anak bisa menunggu demi uang muka membeli sepeda motor buatan China, yang menurut iklan lebih unggul dibandingkan buatan Jepang.

Pertanyaan paling tolol dari kisah di atas, "Lalu bagaimana siklus produktifitas perseorangan atau keluarga demi menjaga kualitas hidup tidak merosot?" Saking tololnya kita tidak menyadari bahwa sekarang ini adalah zaman utang sudah bukan lagi sesuatu yang memalukan. Bahkan berutang di kalangan berpunya telah dikemas sedemikian rupa hingga ada peringkatnya: Silver, Gold, Platinum, dan seterusnya. Edan suredan!

Seorang sepupu saya dengan bangga memamerkan mobilnya yang terbaru, Grand Livina. Kemana mobilmu yang dulu (sebuah Toyota Avanza yang dikenal dengan sebutan mobil sejuta umat), tanya saya. "Tukar tambah lah Mas." Kemudian dia dengan fasih bicara panjang lebar, selayaknya seorang salesman mobil, tentang kemudahan-kemudahan fasilitas kredit yang ia gunakan. Luarbiasa pengetahuannya. Mungkin jika saat itu saya sela dengan pertanyaan, "Ngomong-ngomong kamu tahu nggak siapa itu Teras Narang?" Dia akan terbengong-bengong, dan balik tanya, "Siapa tuh? Apa ada hubungannya dengan fasilitas kredit mobil?"

Kemudahan memperoleh barang (lewat siasat-siasat kredit perbankan), gempuran iklan nan mengkilat, mendesah dan merayu, laju produksi dan distribusi barang dan jasa konsumsi yang meroket, agaknya tidak ada urusannya dengan potret nelangsa warga di desa-desa di Riau yang kebingungan dengan harga minyak goreng curah mencapai Rp 16.000/kg, padahal propinsi tersebut memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Juga tidak ada urusannya dengan warga di desa-desa di Sumatera Selatan, yang terkenal dengan sebutan "Lumbung Energi Nasional", berkeringat antri minyak tanah. Potret nelangsa tersebut pupus ketika kita ajak orang-orang yang antri tersebut bicara tentang jenis terbaru telepon genggam merek tertentu. Atau ajak mereka bicara tentang kelanjutan serial sinetron di stasiun televisi tertentu.

Pada sebuah perjalanan di Pulau Flores, akhir tahun 2005, saya terkejut disajikan fenomena luarbiasa. Warga di sebuah kecamatan ramai-ramai melepas dan menjual tanah untuk membeli sepeda motor buatan China. Saya sempat bertanya, apakah sepeda motor itu untuk keperluan transportasi keluarga atau untuk keperluan produksi. Jawaban beberapa diantara mereka sangat tegas, "Untuk ojek, Pak. Uangnya lebih cepat daripada bertani." Jika sebagian besar mereka menjual tanah untuk beli sepeda motor untuk ojek, lalu siapa penumpangnya? Booming cengkeh saja mendorong pemiskinan petani, apalagi booming sepeda motor...

24 April 2008

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: