Awicaks
Yang mesti didudukkan pertama kali adalah, yang namanya bisnis adalah semata-mata untuk menangguk laba. Itu aksioma. Tak terbantahkan. Yang menikmati laba tentu saja adalah orang-orang yang memiliki bisnis tersebut. Karena mereka sudah menanam uang mereka, mengerahkan pikiran mereka, dan mungkin tenaga mereka untuk menghasilkan sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan di ujung hari akan menghasilkan laba, lewat kalkulasi tertentu yang umumnya berada pada ambang kewajaran. Mestinya hal itu kan bukan masalah.
Salah seorang petinggi Unilever di Inggris baru-baru ini mengatakan, “Kami berbisnis tidak semata-mata soal mencari laba, tetapi sudah menjadi tradisi kami untuk memberi sumbangan balik kepada masyarakat.” Ia mengucapkan itu saat kami sedang bernegosiasi soal praktik bisnis Unilever yang menurut organisasi saya tidak sesuai dengan citra yang diciptakan mereka di depan publik, terutama terkait soal tak pedulinya mereka dengan perilaku buruk pemasok minyak kelapa sawit mereka yang beroperasi di Sumatera dan Kalimantan. “Tentu kami terkejut dan prihatin bahwa salah satu mata rantai produksi kami ternyata merusak hutan, mengancam habitat satwa liar, serta memperburuk perubahan iklim. Kami pasti tak akan tinggal diam dan segera mengambil tindakan tegas, at any cost.”
Namun ketika tim organisasi saya mengajukan tawaran agar mereka segera menghentikan transaksi pembelian dengan perusahaan-perusahaan pemasok minyak kelapa sawit dari Indonesia yang jelas-jelas terbukti melanggar hukum yang berlaku di Indonesia serta prinsip-prinsip Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), para petinggi Unilever tak berani bicara setegas Wakil Presiden mereka, yang hanya duduk bersama kami sekitar sepuluh menit, karena menurutnya ia sudah ditunggu oleh boss tertinggi di kantor Unilever Inggris.
“Tindakan itu bisa menimbulkan kejutan besar dan berpotensi menjadi boomerang tidak hanya bagi kami, tetapi juga bagi ekonomi Indonesia,” kata salah seorang petinggi perusahaan pembeli terbesar minyak kelapa sawit di dunia itu. Ia pun memaparkan logika dan kalkulasi dari jejaring rantai produksi dan distribusi mereka, yang satu sama lain sangat bergantung.
Menanggapi jawaban itu, saya pun memaparkan rumitnya jejaring dinamika fungsi-fungsi alam (ekologis) yang tidak begitu mudah dinilai dengan uang (monetasi). Sehingga logika dan kalkulasi bisnis tidak dapat mentah-mentah diletakkan dalam kerangka ekologis. “Jika kita ngotot menghitung nilai moneter kerusakan alam dan kemerosotan kualitas ruang hidup masyarakat yang bergantung kepada fungsi-fungsi alam di tempat pemasok Anda beroperasi sepanjang, misalkan, sepuluh tahun terakhir, perusahaan besar ini pun saya kira tak akan mampu membayarkan pampasannya. Dengan syarat, penghitungan dilakukan secara benar dan adil, tidak hanya menggunakan cara-baca bisnis belaka, tetapi juga memperhitungkan kualitas fungsi-fungsi ekologis yang merosot akibat pola produksi yang agresif.”
Pembicaraan tersebut ditutup dengan kesepakatan sementara, bahwa ini adalah putaran pertama. Meskipun baru berupa putaran pertama, sudah ada beberapa hal yang disepakati, terutama soal kerangka waktu serta transparansi sikap dan posisi mereka di hadapan publik terkait niat baik untuk mengambil tindakan yang tegas. Tetapi soal tuntutan penghentian transaksi, mereka tetap berkeras tidak bisa berjanji dalam waktu pendek.
“Paling tidak kami sekarang paham, citra perusahaan ini yang begitu kemilau ternyata tak sehebat yang direkayasa oleh perusahan-perusahaan iklan,” ujar salah seorang dari tim negosiasi kami. Ia pun mengungkapkan bahwa kami punya data berapa biaya yang dihabiskan Unilever untuk merekayasa dan memoles citra perusahaan itu. Anggota tim lain yang berasal dari Belanda juga menambahkan, bahwa pengeluaran perusahaan besar ini untuk RSPO bukan berasal dari neraca utama biaya produksi, tetapi berasal dari komponen belanja iklan dan kehumasan. Ungkapan penutup kami membuat para petinggi tersebut tercekat.
Sepulang dari negosiasi, saya merenung panjang. Saya teringat buku dan film Joel Bakan, the Corporation. Juga teringat catatan-catatan kritis John Kay tentang ketidaknyambungan citra dan perilaku sesungguhnya perusahaan-perusahaan multinasional, terutama ketika sudah masuk ke rantai produksi paling hulu. Karena, bagaimana pun, kepentingan perusahaan adalah memperlebar ambang laba (profit margin) sebesar-besarnya, dengan batas kewajaran yang semakin hari semakin sulit diterima akal sehat. Karena alat penghitung biaya dan resiko semakin hari semakin canggih, dan semakin hari semakin jauh dari realita publik. Karena publik semakin nyata diperlakukan hanya sebagai pasar dan pembeli serta sekaligus sebagai asupan produksi, sama halnya dengan sumber-sumber publik lain, seperti lahan dan semua yang tumbuh di atas dan yang terkandung di dalamnya, semata-mata sebagai asupan produksi atau sumberdaya (resources). Atas nama ambang laba, maka usaha mencari dan mendapatkan asupan produksi yang semurah-murahnya menjadi sebuah perjalanan panjang yang tak ada habis-habisnya.
Buruknya pengurusan negara dan publik (governance) memperparah situasi. Tanpa ragu-ragu, kebobrokan governance bahkan diperhitungkan sebagai nilai tambah (adding values) bagi para pemilik bisnis. Para pengurus negara pun tak ragu-ragu merangkul dan memperlakukan para pelaku bisnis sebagai salah satu sumber kuasa mereka. Ada banyak skandal yang secara gamblang menunjukkan tali-temali hubungan intim politikus dengan para pelaku bisnis di berbagai negara, tidak hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara industri maju. Dengan kenyataan seperti ini, citra buruk bisnis di mata publik menjadi hal tak terhindarkan. Maka bisnis kehumasan dan periklanan menangguk laba besar, karena tingginya tingkat permintaan perusahaan-perusahaan besar untuk direkayasakan citra positif dan mengkilat.
Jadi, jangan terlalu jauh untuk bicara bisnis yang ramah lingkungan, pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, mungkinkah terwujud bisnis yang tak merusak?
No comments:
Post a Comment