Saturday, May 03, 2008

Indonesia - Sebuah Paradoks Kolosal

Awicaks

Siapa tak tersengat membaca berita sekitar tahun lalu, bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara anggota OPEC yang mengimpor minyak. Siapa pula yang tak garuk-garuk kepala, membaca persebaran cadangan minyak dan gas alam di sekujur tubuh pulau-pulau Indonesia, sementara warga di sebuah daerah di Sumatera Selatan yang terkenal dengan sebutan lumbung energi harus mengantri untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah. Sekarang pengurus negara, baik politikus maupun birokrat didukung oleh para teknokrat, sedang sibuk mengutak-atik asumsi-asumsi, membongkar-pasang tabel-tabel anggaran serta diagram-diagram modeling, untuk mengambil keputusan penaikan harga BBM.

Kejadian lebih kurang serupa berlaku juga untuk minyak goreng dan bahan pokok lain. Harga minyak goreng curah ditetapkan Rp 13.000 per kilogram. Warga di beberapa daerah di Propinsi Riau, tuan rumah bagi sebagian besar perkebunan kelapa sawit, terengah-engah dan pontang-panting untuk membeli minyak goreng curah dengan harga pasar Rp 16.000 per kilogram.

Pada potret lain, seorang petani kelapa sawit di Propinsi Jambi, tengah sibuk membuka hutan, kemudian membakar lahan tersisa untuk ditanami bibit-bibit kelapa sawit. Tetangga petani itu melakukan hal serupa. Demikian halnya dengan tetangga jauh mereka. Ketika camera zoom-out ke udara, terlihat peta Sumatera membara. Asap gelap tebal membumbung dan terbawa angin bahkan hingga negara tetangga. Para petani tersebut tentu tak punya bayangan untuk merekam situasi itu menggunakan camera dengan kemampuan zoom-out luar biasa.

"Lumayan untuk biaya anak bungsu bersekolah. Juga untuk yang sulung yang sudah bersiap-siap mengikuti Ujian Nasional (UN)." Kata si petani dengan sorot tanpa dosa. Jawaban lebih kurang serupa diungkapkan petani lain, dan bahkan oleh para tenaga kasar tak berlahan yang bekerja membuka hutan dan membakari lahan hutan.

Nun di Jakarta sana, para petinggi Negara tengah merumuskan peraturan tentang pelarangan penggunaan api untuk membuka lahan perkebunan. Peraturan tersebut dibuat bukan dengan kesadaran bahwa tindakan pembakaran lahan untuk perkebunan mengancam kehidupan warga serta mempercepat kemerosotan mutu lingkungan hidup, melainkan karena tekanan politik negara tetangga. Sementara tak jauh dari tempat para petani tadi, para bupati wilayah-wilayah hasil pemekaran tengah berlomba-lomba memacu perolehan pendapatan daerah mereka, sebagai cara mendongkrak peringkat kemampuan anggaran daerah, yang pada gilirannya menaikan daya tawar mereka terhadap pengurus Negara di Jakarta.

Kenyataannya, Sumatera dan Kalimantan terus membara secara berkala. Seorang kawan dari Australia menyebutnya, "musim membakar" atau "burning season." Peraturan demi peraturan dihasilkan. Tidak hanya oleh satu sektor, bahkan lintas sektor, seiring meningkatnya tekanan politik negara-negara tetangga. Tak tanggung-tanggung, Laporan Stern (2007) menyebutkan Indonesia sebagai negara ketiga terbesar penyumbang emisi gas-gas rumah kaca (GRK) setelah Amerika Serikat (AS) dan China. Sebagian besar emisi GRK Indonesia berasal dari penggundulan hutan, pengeringan lahan gambut dan pembakaran lahan.

Para petinggi Negara mencak-mencak. "Kami tidak terima ditempatkan pada peringkat ketiga. Data itu ngawur. Mereka seharusnya paham bahwa kita telah bekerja sangat keras untuk menanggulangi kebakaran hutan!" Reaksi serupa terjadi ketika Indonesia oleh the World Guiness Book of Record ditempatkan sebagai negara dengan penggundulan hutan tercepat di dunia (2006). "Itu data ngawur! Tidak benar kita memiliki laju penggundulan hutan seperti itu!" Bahkan beberapa pejabat tinggi mengalihkan persoalan dengan menuding Greenpeace, organisasi yang mengusulkan rekor itu ke the World Guiness Book of Record, sebagai organisasi yang tidak bertanggung jawab dan tidak peduli dengan kesulitan yang tengah dihadapi Indonesia.

Potongan kisah lain pun muncul. Tak ada urusannya dengan hutan atau emisi GRK. Seorang ibu hamil dan anak balitanya meninggal karena kurang makan di Makassar. Berita tersebut pertama kali dibantah oleh pejabat wilayah setempat. Tak ada permintaan maaf dan pengakuan. "Ada kelompok yang berkepentingan dengan upaya pemberitaan seperti itu!" Lalu, seakan-akan tak ada hubungannya dengan kejadian di Makassar, pengurus Negara di Jakarta mengebut pembuatan kebijakan untuk warga miskin. Kemudian mengumumkannya di hadapan media massa, menepuk dada bangga dengan prestasi itu, tetapi tidak berani dan tidak mau mengaitkannya dengan kejadian meninggalnya ibu hamil dan balita kurang makan di Makassar itu.

Sebuah pertanyaan mendasar. Dengan kualitas mental seperti yang dipamerkan para pejabat tinggi Negara dan para politikus saat ini, apakah Indonesia memang layak dan mampu berlaku sebagai sebuah Negara? Penampilan mengiklat, rapih, wangi dan glossy para pejabat Negara pada acara-acara publik merupakan demonstrasi mentalitas tak tahu malu dan tak pantas yang kelihatannya dianggap sebagai suatu kelaziman. Tahukah Anda apa yang dilakukan orang-orang yang baru saja terpilih menjadi anggota DPR? Melakukan pengukuran tubuh untuk pembuatan pakaian-pakaian resmi, mencari salon perawatan kulit terbaik dan memenuhi kebutuhan lain yang tak ada urusannya dengan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai corong aspirasi warga!

Paradoks kolosal Indonesia dapat ditonton mulai dari Jakarta hingga ke daerah-daerah pelosok di sekujur tubuh Nusantara.

3 Mei 2008

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: