Awicaks
Dari deretan bangku Stadion Utama Senayan, ribuan orang mengangkat lembaran kertas yang membentuk gambar profil SBY dan istri tercintanya, Ibu Anny Yudhoyono. Sebuah museum Orde Baru nan sempurna. Ditambah parade baris-berbaris militeristik mengusung bendera raksasa. Tak lupa pertunjukkan seni kolosal, tari Saman, dari Aceh. Dan satu hal yang membuat SBY tak kalah menjijikkan dibanding Eyang Kakung Almarhum Suharto, parade cari muka para punggawanya, dengan ditampilkannya lagu karya SBY dalam upacara kolosal tersebut. Apa sesungguhnya yang ingin disampaikan kepada publik, di bawah gonjang-ganjing kenaikan harga BBM, terus meningkatnya tiitk api di kawasan-kawasan perkebunan yang operasinya sarat korupsi, semakin menderitanya warga korban lumpur Lapindo yang sudah tidak lagi diurus?
Dalam parade yang serba gagah dan macho itu, sama sekali tak tergambarkan satu sikap bertanggung jawab atas derita warga yang tak tertangani. Sosok kewajiban pengurus Negara absen dalam derita warga, sehingga warga terpaksa menyubsidi mereka, atas nama bertahan hidup. Parade idiotik, yang derajat kebodohannya jauh lebih besar dibandingkan jalan cerita sinetron-sinetron pelipur derita warga, menampilkan tema yang secara intelektual bernilai rendah, "Indonesia Bisa!" Bisa apa? Bisa itu racun. Mengapa bukan 'mampu'? Oh, ternyata itu satu upaya salah seorang punggawa mencari muka, dengan menampilkan ulang frasa sakti yang mengantar SBY - JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden, "Bersama Kita Bisa!" Bodohnya...
Makin jelas terlihat, bagaimana seorang SBY melihat dan memperlakukan posisinya sebagai seorang presiden: Raja lima tahunan. Menjelang tahun kelima, minimal ada satu kesempatan lagi jadi raja lima tahunan, dengan memompa citra positif semaksimal mungkin. Maka dirancanglah sebuah parade megalomanik, yang serba besar, serba wah, serba kolosal, yang kesemuanya bergerak rapih teratur karena membutuhkan satu perangkat perintah yang memusat agar tidak terjadi satu kesalahan kecil pun. Namun, mengapa model perangkat perintah memusat yang tidak membolehkan satu kesalahan kecil tidak dipraktekkan dalam tata-kelola pengurusan Negara yang dipimpinnya? Hmmm, dengan segala hormat, saya memikirkan satu gagasan, "Jangan-jangan memang di bidang seni pertunjukkan beliau memang piawai...."
Kebetulan saya menonton pertunjukkan musem Orde Baru itu di sebuah apotik di wilayah Jakarta Selatan. Orang-orang sakit dan mereka yang menemani orang sakit mengantri pelayanan petugas apotik, pada mengomel. "Harga-harga pada naik, kok tega bikin acara mewah dan megah seperti itu? Berapa milyar rupiah dihabiskan hanya untuk upacara Harkitnas itu?" Umpat seorang laki-laki paruh baya di ruang tunggu apotik. Orang-orang di ruang tunggu pun ikut mengumpat dan mengeluh. Para petugas apotik pun tak mau ketinggalan. Anehnya, tak satu orang pun berkeinginan mematikan tombol televisi. Ada yang mencoba memindahkan saluran. Ternyata seluruh stasiun televisi swasta menayangkan upacara bodoh itu. Megalomanik fasistik!
Tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi, sebuah pesan pendek masuk. "Mas, warga di pasar porong tidak lagi dapat jatah makanan. Ini bahaya, mereka bisa marah. Tidak ada petugas dari BPLP." Kepala saya berdenyut. Luarbiasa tak tahu malu rejim idiokratik fasistik ini! Kok berani-beraninya tampil mengurus negara sebesar Indonesia dengan cara berpikir sepotong sepotong seperti ini? Kok ya berani-beraninya mengurus negeri kepulauan terbesar di dunia ini menggunakan manajemen pertunjukkan panggung? Saya makin skeptik dengan situasi yang ada. Apa ada gunanya saya nanti ikut menyalurka suara lewat pemilihan umum, yang masa kampanyenya akan memakan waktu sembilan bulan, kalau stock pemimpin yang tersedia hanya model primadona panggung pertunjukkan berselera rendah?
No comments:
Post a Comment