Saturday, June 28, 2008

Korupsi: "Ini Indonesia, Bung!"

Awicaks

Sebenarnya saya malas berkomentar tentang rekaman hasil sadapan percakapan Artalyta Suryani alias Ayin dengan beberapa petinggi Kejaksaaan Agung. Pertama, karena itu hanya puncak dari gunung es dari kerangka birokrasi Negara yang begitu korup. Kedua, peristiwa tersebut tidak mampu membuat pelaku-pelaku yang bolehjadi lebih kakap kelasnya menjadi jera, bahkan bekerja keras mencari celah-celah yang memungkinkan mereka lolos dari jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan ketiga, "Ini Indonesia, Bung!"

Apa yang tampak di permukaan di negeri ini lebih sering tidak menggambarkan realita yang dipersepsikan. Ada begitu banyak jalinan tali-temali kepeningan di balik peristiwa tersebut. Apakah benar, bahwa publik diuntungkan oleh pembongkaran persengkokolan tersebut? Terlalu naif apabila kita menutup mata terhadap begitu banyak peluang pihak-pihak yang diuntungkan dari gencarnya pemberitaan tentang skandal Kejaksaan Agung.

Saya teringat pengalaman delapan tahun lalu, ketika berkenalan dengan seorang pengusaha asal Indonesia di Cairns, Queensland, Australia. Ia seorang pengusaha ekspor ikan hias laut (marine ornamental fish) yang cukup dikenal sebagai pengusaha yang berwawasan lingkungan. Saat mengecek tempat usahanya, saya sungguh terkesan. Tetapi saat yang sama saya tahu betul bagaimana perialku pengusaha itu di negeri sendiri. Perusahaannya di Sulawesi Selatan bergerak di bidang ekspor ikan konsumsi hidup ke Hong Kong. Berbeda dengan usahanya di Australia yang bersih dan berwawasan lingkungan, yang dilakukannya di Sulawesi Selatan justru bertolak belakang. Saya pun tak dapat menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu kepadanya.

"Nggak ada insentifnya kalau saya menerapkan cara kerja saya di sini di bisnis ikan konsumsi di Sulawesi Selatan. Saya malahan rugi, karena pengusaha lain bisa lebih jorok dibanding yang saya lakukan. So, why should I?" Jawabannya sangat menohok. Kemudian ia berceloteh panjang lebar bahwa bisnisnya sangat diuntungkan oleh mentalitas korup staf dan pejabat Negara di Indonesia. "Di sini? Boro-boro.... Satu mata rantai produksi saja saya lengah, habis seluruh bisnis saya...."

Saya tidak tahu dimana gerangan ia berada sekarang, dan apakah ia masih bertahan dengan bisnisnya itu. Praktik bisnis pengusaha itu di Sulawesi Selatan sangat tidak bertanggung jawab. Penggunaan racun atau bius sudah menjadi hal lazim. Yang penting bagi dia adalah jumlah. Semakin besar jumlah tangkapan, meski dilakukan dengan teknik merusak, semakin kecil risiko rugi yang ia hadapi. Saringan kualitas para pembeli skala besar (wholesaler) yang kerap menjemput ikan karang hidup di Makassar tidak perlu ia khawatirkan. Ikan yang ditolak masih bisa ia jual ke pasar lokal.

Dimana sosok petugas kantor-kantor Negara dalam potret di atas? Mohon maaf, tak ada sama sekali. Pembeli-pembeli ikan karang hidup asal Hong Kong bebas lalu-lalang di perairan Indonesia selama lebih dari empat dekade. Ikan-ikan karang tidak perlu dilaporkan ke Tempat Pendaratan Ikan atau TPI (fishlanding site) setempat. Karena Undang-undang Perikanan memang tidak memasukkan ikan karang sebagai obyek yang diatur. Luar biasa! Sarwono Kusumaatmadja, saat ia menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada masa kepemimpinan Gus Dur, mengumumkan kepada publik kerugian milyaran dollar AS akibat tidak diaturnya perdagangan ikan karang dalam peraturan perundangan perikanan.

Sejumput cerita yang memang akrab dengan pekerjaan saya itu mungkin dapat ditemui di bidang usaha lain di Indonesia. Masalahnya saya sangat terbatas pemahaman rinci tentang mata usaha lain. Tetapi dari bacaan-bacaan yang disiarkan luas lewat media massa tentang praktik perdagangan manusia, baik yang legal (dalam bentuk Tenaga Kerja Indonesia atau TKI) maupun yang ilegal (trafficking), peluang meraup laba besar akibat bobroknya tata-kelola (governance) pengurusan Negara menjadi daya tarik para pemilik modal dari berbagai negara.

"Bobroknya penegakkan hukum di Indonesia merupakan nilai tambah bagi investasi kami," Ujar seorang makelar asal Singapura kepada saya ketika berbincang di sebuah kedai kopi di Medan, ketika saya terlibat penelitian risiko-risiko tak-terhindarkan dari pelaksanaan kebijakan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias pada pertengahan 2005. Ia terlibat dalam memuluskan proses perijinan masuknya bantuan bagi korban tsunami Aceh dan Nias. Ironisnya, keberadaannya saat itu diketahui dan direstui pejabat resmi Negara, atas nama tindakan darurat. Percakapan saya dengannya berlangsung begitu terbuka. Ia begitu percaya diri ketika berbincang. Kalau waktu itu kami berdua berada dalam dunia komik, mungkin di atas kepalanya muncul balon dialog ucapannya dalam hati, "Siapa sih yang berani menangkap saya?"

Ungkapan, "Ini Medan, Bung!" rasanya harus menasional. "Ini Indonesia, Bung!"

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: