Awicaks
Seorang kawan yang berdomisili di salah satu negara di Eropa bertanya lewat surat elektronik, "Apakah dengan terbongkarnya skandal di Kejaksanaan Agung menimbulkan efek jera di kalangan aparatus penegak hukum di Indonesia?"
Sebuah pertanyaan tertutup yang selalu saya benci. Hemat saya, mestinya dia bertanya seperti ini: "Bagaimana reaksi aparatus penegak hukum lain baik di lingkungan Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung dengan terbongkarnya skandal Artalyta?"
Sehingga saya lebih leluasa berimajinasi tentang hiruk-pikuk kalangan tersebut membahas pilihan-pilihan 'jalan keluar' agar mereka tidak terjerat perangkap yang sama. Bisa berupa pilihan bagaimana menghapus jejak berlumpur (dan mungkin berdarah), atau bisa juga berupa cara untuk sungguh-sungguh bertobat dari jalan sesat yang mungkin sudah mendarahdaging di institusi tersebut.
Pada tulisan sebelumnya, saya berpendapat bahwa ada pihak yang diuntungkan (atau bahkan memang merancang untuk menangguk keuntungan) dari pembongkaran dan pemblejetan skandal Artalyta. Publik memang diuntungkan. Tetapi diuntungkan dengan catatan. Publik tidak bodoh dan naif. Namun demikian pembongkran dan pemblejatan skandal Artalyta paling tidak menjadi hiburan kecil bagi warga kebanyakan yang terus didera tekanan hidup.
Apabila kita ibaratkan Kejaksaan Agung sebagai sebuah kapal layar yang tengah berada di laut dengan lubang-lubang bocor hampir di sekujur tubuh kapal, sulit diterima akal sehat apabila usaha memperbaiki kebocoran dilakukan sambil berlayar. Kapal itu mesti merapat ke pantai untuk beberapa saat lamanya agar perbaikan-perbaikan dapat dilakukan dengan baik hingga kapal siap untuk berlayar kembali. Tetapi mungkinkah institusi seperti Kejaksaan Agung mendeklarasikan jeda (moratorium) penuntutan untuk beberapa saat untuk memperbaiki kebocoran-kebocoran, bukan sekedar menambal lubang-lubangnya?
Repotnya Kejaksanaan Agung adalah satu sub-sistem dari sebuah sistem yang lebih besar, struktur penyelenggaraan penegakan hukum Negara. Membenahi kebocoran-kebocoran di Kejaksanaan Agung mestinya tidak bisa dilakukan eksklusif dari institusi penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian dan Mahkamah Agung, yang secara akal sehat diragukan kebersihannya. Hukum permintaan - penawaran memang berlaku, karena keadilan mesti diakui sudah menjadi komoditas.
Jika kita mengambil jarak pandang sedikit lebih jauh (zoom-out), akan terlihat bahwa ternyata struktur penyelenggaraan penegakan hukum adalah sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar lagi: Sistem penyelenggaraan Negara. Apakah sub-sistem lain dijamin kebersihannya? Apabila kita rajin membaca koran atau membuka telinga lebar-lebar menyimak hiruk-pikuk timba rejeki di kantor-kantor Negara, tentu jawabannya, tak ada kantor Negara yang bebas korupsi di negeri ini. Saya tercenung.
Apakah kita mesti memberlakukan jeda juga untuk memperbaiki tata-kelola (governance) penyelenggaraan Negara, di tengah derasnya arus pengaruh ekonomi-politik regional dan global? Saya hanya bisa tercenung. Tiba-tiba saya merasakan lambung melilit....
No comments:
Post a Comment