Awicaks
Ini bukan situasi either or. Kalau bukan yang ini tentu yang itu. Tetapi Loretta Napoleoni, yang terkenal karena risetnya tentang aliran uang di balik terorisme dan kaitannya dengan perusahaan-perusahaan perbankan dunia, Terror Incorporation, begitu cermat memaparkan reaksi berantai sejak Gorbachev mencanangkan Prestorika, dirobohkannya Tembok Berlin, serta transformasi paradigmatik politik-ekonomi Cina, dalam buku terbarunya, Rogue Economics.
Yang menarik, yang ia paparkan bukan tentang ekonomi=bawah-tanah (underground economics), seperti halnya pencucian uang. Yang ia paparkan justru keterkaitan ekonomi resmi dan legal dengan maraknya aliran perempuan-perempuan cantik asal wilayah-wilayah bekas Uni Soviet ke Eropa Barat, Amerika Serikat, ke negeri-negeri para raja minyak di Asia Tengah, dan bahkan menjadi pemasok yang ajeg bagi Isreal.
Mungkin bagi Napoleoni masalah tata-kelola (governance) seperti suap, korupsi, sudah bukan lagi persoalan se-horror rogue economics. Napoleoni justru menyorot bagaimana kelompok mafia, seperti mafia Rusia, Italia, memasuki ajang bisnis legal, dengan dua kekuatan karakter utama mereka dibandingkan perusahaan-perusahaan pada umumnya: Loyalitas dan keberanian, yang senantiasa berurusan dengan tindak kekerasan yang keji. Sistem akuntansi dunia serta resep-resep jitu lembaga-lembaga keuangan internasional justru telah menyediakan sarana-sarana penting bagi kelompok-kelompok ini.
Bagaimana dengan negeri sendiri? Hamzah Haz, semasa menjabat Wakil Presiden pernah mengutaarakan sinyalemennya tentang ekonomi-bawah-tanah di Indonesia yang telah berlangsung lama, yang menurut dia putaran kecepatan dan nilai uangnya jauh lebih besar dibandingkan yang resmi. Meski tak mengungkapkan nilai kerugian resmi Negara akibat ekonomi-bawah-tanah itu Hamzah mengisyaratkan kerapuhan tatanan ekonomi-politik negeri ini.
Menjadi menarik ketika pernyataan itu dipersandingkan dengan hasil riset Napoleoni, dimana kecenderungan para pelaku ekonomi-bawah-tanah memasuki domain resmi dan legal terus menguat.
Menggunakan kerangka pikir Napoleoni, arus perpindahan orang dari kampung-kampung ke kota-kota besar sepanjang masa Orde Baru mestinya bisa dilihat sebagai gejala rogue economics. Apalagi pengiriman buruh secara massif ke negara-negara Asia Barat serta negara-negara tetangga yang lebih makmur seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam juga Hong Kong. Argumen dasarnya adalah lenyapnya jaminan penguasaan atas sumber produksi, terutama tanah.
Petani bercocok tanam di kampung sebagai produsen dan orang kota sebagai konsumen sudah menjadi dongeng pengantar tidur yang selalu digelayuti mimpi buruk. Perambahan industri rakus-tanah (land hunger industries) ke kampung-kampung pelan-pelan dianggap sebagai suatu kelaziman dari perkembangan sebuah negara moderen. Proses perambahan itu sendiri melibatkan berbagai pelaku, baik pelaku resmi seperti petugas dan pejabat kantor-kantor Negara serta pihak-pihak yang menangguk laba dari transaksi perpindahan dan pengalihan hak atas tanah.
Ada suatu masa ketika istilah mafia tanah banyak dibicarakan orang. Jalinan itu melibatkan pelaku-pelaku resmi seperti para kepala desa atau kepala kampung, camat, petugas kantor pertanahan, bahkan praktisi hukum yang berurusan dengan transaksi jual-beli tanah. The non-state bad guys tampil sebagai usahawan yang bisnis utamanya adalah menjual jasa, baik berupa jasa memuluskan pelepasan hak, jasa meredam keresahan sosial, hingga jasa pengamaman proses perpindahtanganan.
Bergeser dari seorang dengan hak atas sumber produksinya sendiri menjadi orang yang menggantungkan sumber produksinya kepada pihak lain (menjadi buruh bagi majikan) dikerangkakan seakan-akan adalah hal yang lazim bagi sebuah negara moderen. Bahkan M. Jusuf Kalla terang-terangan mengatakan, bahwa petani yang kemudian masuk ke lingkar industri adalah suatu proses naik kelas. Ia tak menyebutkan, sebagai apa petani yang melepas tanahnya itu memasuki lingkar industri.
Saya teringat kepada seorang pejabat di sebuah kantor Negara di Jakarta yang sangat berpengaruh dalam urusan bagi-habis dana Negara lewat anggaran rutin dan proyek. Ia mengungkapkan kegundahannya tentang kesulitan menyimpulkan tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia. "Sulit untuk menetapkan tingkat pendapatan rata-rata petani, karena sifatnya yang tidak tentu. Kalau gagal panen, yaa pasti pendapatannya merosot. Tidak gampang menerjemahkan fluktuasi pendapatan yang oportunistik itu menjadi angka-angka yang kami butuhkan untuk menyusun kebijakan ekonomi makro."
Rumus suatu kelzaiman dari karakter negara moderen sangat kuat merasuki struktur berpikir. Petani dan nelayan adalah kelompok yang tidak memiliki nilai pendapatan yang pasti, seperti halnya seorang pegawai dengan slip gaji yang diterima setiap awal bulan. Penjumlahan lurus nilai slip gaji warga adalah angka yang dibutuhkan untuk menampilkan tolok-tolok ukur ekonomi makro, agar Indonesia bisa berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan multinasional dan bilateral, baik untuk urusan memperoleh bantuan (yang sesunggguhnya sama sekali tidak gratis) dan pinjaman.
Refleksi lain setelah membaca buku Napoleoni terutama menyangkut tata-kelola (governance) negeri ini yang ujung dan pangkal kebobrokannya sudah susah ditelusuri. Kalau lubang yang ini ditutup, maka lubang yang lain akan menganga lebih lebar.
Amerika Serikat yang mendeklarasikan diri mereka sebagai patokan baku ukuran kemoderenan dan kemajuan ekonomik tak luput dari masalah tata-kelola. Kasus Enron hanyalah puncak gunung es. Perang Irak yang dipandang oleh sebagian besar intelektual di sana sebagai skandal terbesar yang melibatkan Negara setelah Perang Vietnam dan Watergate, adalah contoh kongkret.
Naomi Klein dalam bukunya, The Shock Doctrine, mengungkapkan bahwa kebijakan pasar bebas yang diusung Milton Friedman dengan the Chicago School of Economics tumbuh subur lewat percobaan-percobaan yang dilakukan di Chili semasa kepemimpinan Pinochet, Russia semasa kepemimpinan Yeltsin, dan bahkan di negerinya sendiri, Amerika Serikat, terutama pada penanganan pasca-kejadian Badai Katrina di New Orleans, serta privatisasi ekonomi Irak di bawah Koalisi Pemerintahan Sementara. Kerangka yang diusung Klein bersambut dengan kerangka Napoleoni, dimana kebijakan pasar bebas yang agresif justru membuat peran demokrasi kemudian menjadi instrumen pengesah daripada sebagai tata-nilai bernegara dan bermasyarakat.
Napoleoni membuka mata kita, bahwa rogue economics adalah payung yang menaungi penjahat ekonomik dan kegiatan ekonomi ilegalis dapat memasuki wilayah abu-abu, memanfaatkan celah-celah hukum. Bahkan, jika perlu ada campur-tangan untuk mempengaruhi atau lebih jauh lagi turut mengarahkan aturan dan hukum agar dapat melindungi kegiatan-kegiatan tersebut.
No comments:
Post a Comment