Awicaks
Berbincang dengan seorang warga biasa yang merasa mampu membersihkan borok-borok republik amburadul ini, bisajadi berujung pada pembahasan tentang cara-cara merebut tatanan kekuasaan yang bercokol. Membaca borok-borok pengurusan Negara dan menyimak denyut-denyut harapan ratusan juta warga pun dianggap selesai. Pembicaraan tentang cara pun berkisar pada ruang-ruang formal yang masih mengedepankan tata-krama, yang sesungguhnya sudah terbukti bangkrut. Tak ada keberanian untuk berpikir dan bersikap nakal. Semua seakan-akan harus bersandar pada kelaziman struktural. Perubahan apa yang diimpikan dengan cara berpikir yang mestinya layak disimpan dan dipajang di museum?
Seperti telah saya tulis sebelumnya, kelaziman yang (dipaksa) diterima umum adalah, berdemokrasi itu mahal. Logistik menjadi keniscayaan yang mesti diadakan jika ingin memasuki arena demokrasi. Sehingga mengemas sosok seorang calon pemimpin agar layak jual dan mampu merebut jutaan pembeli menjadi tujuan pertarungan (kampanye).
Cara berpikir tersebut berlaku tak hanya bagi para pemuja demokrasi pasar bebas, tetapi juga mereka yang mengibarkan bendera ideologi sosialisme. Apa artinya? Ideologi sudah bangkrut! Semua terpaku dan tersedot dalam tatacara padat modal. Bahkan ketika seorang calon bicara tentang pendekatan yang murah meriah, sesungguhnya dia tengah memikirkan "biaya pengganti" dari kebutuhan nominal instrumen monetasi bernama uang, menjadi "barang dan jasa" lain yang senilai.
Atas nama kesantunan dan mimpi tentang keselarasan gagasan-gagasan liar tentang perubahan pun disensur habis bahkan sebelum dia dilahirkan. Karena energi kreatif orang-orang muda yang mendambakan perubahan ternyata sudah sama kolotnya (obsolete) dengan yang menghinggapi kepala orang-orang yang usianya sudah bau tanah. Dan perubahan pun mati sebagai artikulasi verbal gagasan-gagasan yang sarat pamrih, bukan lagi suatu letupan dahsyat sebuah cita-cita. Apa yang sesungguhnya terjadi? Hanya satu jawabannya: Sulit mendapatkan calon pemimpin yang tanpa pamrih dan tak takut kalah (nothing to lose).
Maka pesan dagangan politik mutakhir negeri ini, bahwa perubahan adalah milik kaum muda penting untuk diperdebatkan habis-habisan. Usia jadi tidak adaa urusannya dengan perubahan. Batasan kata 'muda' pun dimiskinkan sebatas kisaran usia. Kata 'muda' kehilangan makna sebagai sesuatu yang lebih segar, lebih berani, lebih berhasrat serta penuh letupan. Populasi orang-orang berusia muda yang lebih merasa nyaman bersembunyi di selangkangan orang-orang berusia uzur saya kira tidak sedikit jumlahnya. Opportunist par excellence adalah ciri penting kelas menengah republik amburadul ini.
Saya hanya bisa mengurut dada, membayangkan kegelisahan orang-orang yang tak lagi muda usianya, tetapi hidupnya penuh letupan hasrat terhadap perubahan, ketika mengamati gejolak dan huru-hara baru menjelang ajang pemilihan presiden republik amburadul ini. Rupanya kerangkeng berpikir a la Orde Baru sudah sedemikian tebalnya mengungkung arena-arena diskusi yang tak mampu beranjak dari karakter alter-ego, serta sibuk dengan rujukan-rujukan romantik negeri nun ribuan kilometer jarak geografiknya, dan nun di masa lalu yang fakta sejarah sudah telanjur dikemas menjadi dongeng-dongeng heroik.
Sambil membaca koran dan duduk di kamar mandi, saya hanya berguman, "Muda-Berani-Berubah" vs. "Kolot-Pengecut-Mapan" (tandatanya besar!)"
No comments:
Post a Comment