Saturday, July 19, 2008

Banjir Demokrasi - The Banner Season!

Awicaks

Sepanjang perjalanan dari Parung hingga memasuki tol Serpong spanduk warna-warni bertebaran, memajang potret wajah-wajah klimis dan berkumis, berpeci, senyum format standar, yang diletakkan di atas atau samping slogan, yang seringkali tata-bahasanya, kacau. Inilah potret banjir demokrasi sepanjang dua tahun terakhir ini. This is a banner season. It'll be gone for sure, dan spanduk pasti berlalu, menyisakan tagihan-tagihan kelas raksasa baik bagi pemenang maupun yang kalah. Roda tata-kelola Negara dan wilayah berbasis iklan pun dimulai. Kontrak sosial? Ah, itu diskusi yang sudah kolot (obsolete). Ini demokrasi pasar bebas, Bung!

Saya tak perlu jadi seorang sarjana ilmu politik untuk berkomentar tentang fenomena atas-nama-demokrasi yang tak jelas juntrungannya itu. Inilah kemewahan menjadi seorang warga biasa. Bebas berceloteh, karena masa-masa represif, dimana berpikir pun harus dilakukan dengan swa-sensur yang ketat, sudah lama lewat. Ini pula kemewahan warga biasa yang tiba-tiba punya nyali untuk masuk ke arena politik kekuasaan, berani bicara tentang tata-kelola Negara dan wilayah, dan tentu saja bertaruh dalam lomba adu cepat dan adu kuat melawan orang-orang yang sangat mahfum seluk-beluk jalan-jalan tikus politik kekuasaan di Indonesia. Coba-coba berhadiah. Kalah tak apa, menang alhamdulillah.

Warga biasa yang berani menjajal arena baru itu patut diacungi jempol. Terlepas dari pengetahuan dan pemahaman yang terbatas, yang mendorong dipilihnya siasat-siasat sarat komodifikasi sosok, warga biasa itu untuk beberapa saat menjadi pemersatu warga-warga biasa lain untuk bermimpi bersama ke arah yang agak lebih kongkret. Sedikit besar kepala boleh lah, tidak ada yang melarang.

Meski baru lepas dari kursus intensif bicara politik dan berdebat, warga biasa yang punya nyali tersebut akan memetik manfaat besar, terlepas dari menang atau kalah mereka di arena pemilihan, dalam hal berinteraksi dengan publik. Namun, orang-orang itu pun akan berhadapan dengan masalah pelik yang tak kecil, ketika bicara soal logistik dan biaya di belakang hiruk-pikuk tim kampanye mereka. Inilah resiko tak-terhindarkan dari demokrasi pasar bebas yang dipercaya secara luas sebagai proses belajar Bangsa Indonesia pasca kejatuhan Suharto. Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia dengan ragam sosial-budaya yang sangat tinggi, lama waktu masa belajar bisa memakan waktu lebih lama, dan tak diragukan, memakan korban warga biasa yang tidak sedikit.

Mimicry adalah cara belajar Bangsa Indonesia. Apa yang tampak dan terlihat bagus dan kemudian dianut secara kolektif akan menjadi kebenaran yang akan ditiru dan disebarluaskan. Pengalaman menjadi salah seorang pelatih pada sebuah lembaga non-pemerintah asal Amerika Serikat yang mengkhususkan diri dalam menyebarluaskan paham demokrasi a la Negeri Paman Sam, membuka bentang pengetahuan saya tentang siasat-siasat memenangkan arena pemilihan demokratik, yang hakekatnya tak beda jauh dengan buku-buku periklanan dan hubungan-masyarakat (humas) yang pernah saya baca tapi tak tuntas. Ketertarikan saya berhenti pada titik dimana kemudian timbul rasa muak terhadap satu kenyataan yang tak dibicarakan secara terbuka: Modalitas pembiayaan untuk menggulirkan kemewahan bernama demokrasi ini.

Hal lain yang tak kalah memuakkan adalah kenyataan tentang tingginya kebutuhan khalayak terhadap perubahan, yang sayangnya, ketika dimasukkan ke dalam rumus-rumus demokratik pasar bebas tersudut sekedar menjadi kerangka acuan (terms of reference), bukan alamat yang harus dituju (terms of address). Rekam jejak sosok yang memasuki arena pun tak lagi menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban tentang latar sejarah para calon agen perubahan, tetapi tereduksi menjadi sekedar curriculum vitae pelamar kerja.

Terlepas dari itu semua, saya tetap melihat fenomena ini sebagai hal menarik dan menjadi tontontan yang cukup menghibur di bawah tekanan melesatnya harga-harga bahan pokok akibat dinaikannya tarif bahan bakar minyak (BBM). Tak perlu mengumpat dan mencaci jika ada kata atau kalimat yang lepas dari nalar. Seorang anak yang tengah belajar bicara kan harus melewati fase-fase salah ucap. Cuma, apakah sosok berusia hampir enampuluh tahun masih bisa disebut sebagai anak-anak? Tiba-tiba saya merasakan lambung melilit menyadari negeri ini ternyata sudah cukup uzur....

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: